CITRA PEREMPUAN DI BALIK MANIFESTASI BUDAYA



CITRA PEREMPUAN DI BALIK MANIFESTASI BUDAYA
Oleh : Dodit Setiawan Santoso



 Sumber gambar : http://snupeducation.blogspot.co.id/2015/03/7-persoalan-penting-yang-dihadapi.html

Apa yang akan terjadi jika suatu budaya yang pada hakikatnya mengatur manusia secara utuh dan adil, malah menguntungkan beberapa pihak? Apakah ini yang disebut dengan keadilan budaya? Apakah etika suatu budaya akan berubah ke keadilan seandainya pihak yang dirugikan itu memberontak dan meminta keadilan?
Kasus kejanggalan budaya seperti ini tampaknya mengundang beberapa sastrawan pengamat budaya untuk membentuk suatu organisasi gerakan feminisme. Organisasi tersebut terbentuk atas inisiatif bersama ketika melihat kejanggalan keadilan suatu budaya, yang mana perempuan diibaratkan sebagai sosok pelarian budaya sedangkan jenis lainnya diibaratkan sebagai sosok yang menikmati kejanggalan budaya. Prosa lirik Calon Arang karya Toeti Heraty dan novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini adalah dua dari beberapa karya sastra yang menggambarkan kejanggalan kebudayaan Bali yang luput dari pengamatan kita saat ini. Seolah-olah keluputan kita ini beralasan, apakah kita benar-benar awam dengan etika suatu budaya? Ataukah etika suatu budaya itu dikerik sampai benar-benar halus, sehingga kejanggalan yang seharusnya ada itu tidak terlampaui oleh pengamatan kita selama ini? Prosa lirik Calon Arang karya Toeti Heraty dan novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini mencoba membongkar sekaligus mengkritik citra perempuan dalam manifestasi kebudayaan Bali.
Prosa lirik Calon Arang karya Toeti Heraty adalah cerita pendek yang bentuknya seperti puisi dengan diksi yang indah. Beberapa hal yang mendorongnya untuk menciptakan prosa lirik ini, karena Toeti Heraty selalu merasa gelisah dengan bentuk kemapaman. Prosa lirik ini menceritakan serta mengkritisi seni pertunjukkan mistis yang ada di Bali dengan tokoh Calon Arang. Tokoh Calon Arang adalah seorang janda beranak satu yang direfleksikan seperti : /nenek sihir dengan rambut gimbal terjurai//lidah terjulur, taring dan kuku mencengkram//dengan susu bergayutan/. Sebuah refleksi yang sungguh menyeramkan, memalukan, dan sesungguhnya tidak masuk akal untuk citra seorang manusia apalagi perempuan. Kemustahilan inilah yang pada akhirnya menimbulkan pertanyaan besar, apakah cerita mengenai Calon Arang ini benar nyata adanya? Ataukah hanya sebuah cerita budaya yang dibuat-buat oleh golongan yang menyebut dirinya ‘misoginis’? Sontak saja permasalahan ini memicu tindakan kritis Toeti Heraty dan para perempuan lainnya yang telah memendam amarah atas pelecehan citra perempuan yang disandangkan pada citra Calon Arang. Jikapun ini adalah sebuah dongeng, adakah dongeng yang mencitrakan bentuk fisik tokoh utama dengan serendah-rendahnya seperti citra Calon Arang? Maka dari itu, penulis setuju dengan pendapat Toeti Heraty bahwa Calon Arang adalah perempuan korban budaya. Citra Calon Arang lainnya digambarkan oleh Toeti Heraty dengan bahasa figuratif yakni /simbol kejahatan di Bali/, /proyeksi ketakutan/, dan /lambang malapetaka/. Apa yang salah dengan sikap Calon Arang yang meminta keadilan kepada masyarakat dan penguasa di Bali untuk mencarikan seorang peminang anak gadisnya? Kemudian sikap masyarakat menjadi sangat sinis memandang Calon Arang sebagai pembawa musibah, padahal dia hanya ingin melindungi anak gadisnya untuk meminta keadilan. Apa yang salah dengan sikap Calon Arang? Lalu, suatu hari ada seorang lelaki meminang anak gadisnya yang diutus oleh penguasa di Bali ‘raja Erlangga’. Pasti, bahagia sekali hati Calon Arang saat itu. Dia berhasil meminta keadilan kepada para penguasa. Namun apa jadinya, ternyata peminangan itu adalah tipu daya yang dilakukan oleh penguasa untuk memusnahkan Calon Arang demi kemapaman kekuasaan raja Erlangga? Apakah yang salah dengan sikap Calon Arang?
Pertanyaan lain datang untuk mengkritisi kedudukan Calon Arang dalam refleksi budaya, yang mana direfleksikan sebagai seorang janda. Definisi ‘janda’ adalah (1) wanita yang tidak bersuami lagi karena bercerai atau ditinggal mati suami; (2) wanita yang dipermainkan oleh laki-laki lalu ditinggalkan. Ada dua definisi ‘janda’ yang mana kedua-duanya menimbulkan polemik di hati para perempuan terutama Toeti Heraty. Dalam prosa liriknya, Toeti Heraty mencoba mengkritisi polemik tersebut dengan kasus poligami. Ada beberapa diksi yang digunakan oleh Toeti Heraty untuk menggambarkan kasus poligami yang menjadi momok untuk para perempuan, seperti kata /bencana pangan/, /istri tambahan menjadi gizi cadangan/, /subur dan gemuk menjadi idaman kanibalisme/. Lalu, pertanyaan datang untuk mengkritisi keadaan anak gadis Calon Arang yang ditinggal mati oleh ibunya. Apakah kehidupan gadis itu nantinya akan membaik selepas kejadian ini? Atau apakah nantinya ia akan menjadi korban selanjutnya menjadi ‘janda’ dan ‘sumber ketakutan di Bali’, seperti halnya yang ditimpa ibunya? Apakah ada perlindungan lain setelah sepeninggalan ibunya? Hal ini sesungguhnya menjadi pertanyaan besar oleh para feminis untuk mengkritik kejanggalan budaya Bali yang merefleksikan perempuan dengan begitu adanya (menakutkan dan memalukan).
Kejanggalan budaya Bali lainnya datang dari perbedaan kasta, yang mana coba digambarkan oleh Oka Rusmini dalam novel Tarian Bumi karyanya. Pada hakikatnya terdapat tiga jenis pembagian kasta dalam budaya Bali yang selama ini telah berjalan yaitu kasta brahmana (kasta tertinggi dan paling mulia), kasta waisya (kasta menengah), dan kasta sudra (kasta terendah atau golongan masyarakat paling bawah). Lagi-lagi yang menjadi objek sasaran korbannya dari pembagian kasta ini adalah perempuan. Seperti langit dan bumi, keduanya memiliki perbedaan yang sangat jelas. Maka Oka Rusmini dalam novel Tarian Bumi mengambil serta menjelaskan citra perempuan di kasta brahmana dan citra perempuan di kasta sudra. Kedua citra itu ditokohkan oleh Luh Sekar (Jero Kenanga) dan anaknya yang bernama Ida Ayu Telaga Pidada. Kedua tokoh ini telah sama-sama memiliki pengalaman menjadi perempuan di kasta brahmana dan kasta sudra.
Citra perempuan kasta brahmana dicitrakan oleh Oka Rusmini dengan diksi /kebangsawanan/. Pemilihan diksi ini sangat cocok dengan penggambaran manusia di kasta tertinggi dan mulia ‘kasta brahmana’. Citra perempuan kasta brahmana direfleksikan dengan bahasa figuratif, seperti majas metafora, majas simile, dan majas personifikasi serta tuturan idiomatik. Berikut bahasa figuratif yang digunakan Toeti Heraty dalam merefleksikan citra perempuan brahmana : (1) /memasang wajah keras/, (2) /derajat/, (3) /melepaskan kulik kanak-kanaknya/, (4) /seperti buku kosong/, (5) /halaman-halaman kosong dalam jiwanya untuk ditulisi oleh sesuatu yang tidak diinginkan/, dan (6) /senja/. Citraan (1), menggambarkan bahwa perempuan selalu menjadi pihak yang disalahkan. Citraan (2), menggambarkan bahwa derajatlah yang memisahkan dua manusia yang memiliki ikatan darah, antara ibu dan anak. Citraan (3), (4), (5), dan (6) merefleksikan bahwa gadis keturunan brahmana harus siap dengan segala konsekuensi yang ada, mereka harus menyerahkan sepenuh jiwanya untuk kepentingan budaya. Kata ‘senja’ dan ‘kulit kanak-kanaknya’ ini merefleksikan masa kanak-kanak. Selanjutnya, citra perempuan kasta sudra direfleksikan oleh Oka Rusmini dengan diksi /ketololan/, /dibohongi dan dibohongi/. Selain itu Oka Rusmini juga mempergunakan bahasa figuratif untuk merefleksikan citra perempuan sudra seperti /peliharaan suami Kenanga/, /perempuan yang mandiri dan mendatangkan uang/, /melayani kita tanpa diminta/, /dijilati matahari/, /hitam dan berbau/, /menginjak ubun-ubunnya/, /mencuci kaki di ubun-ubunnya/.
Berdasarkan pada pembahasan sebelumnya, maka didapatlah citra perempuan kasta brahmana dan citra perempuan kasta sudra. Citra perempuan kasta brahmana digambarkan sebagai keturunan bangsawan yang hidup dan matinya hanya digunakan untuk kepetingan budaya. Penulis merasa sangat miris melihat kenyataan budaya seperti ini, yang mana budaya seakan tidak memberikan ruang bagi perempuan untuk mendapatkan hak hidup seperti alaminya kehidupan manusia. Maka tidak bisa dipungkiri, mengapa kaum perempuan termasuk Oka Rusmini mengkritik kenyataan budaya seperti itu dalam novelnya ini. Selanjutnya dapat disimpulkan pula, citra perempuan kasta sudra adalah perempuan yang bodoh, tolol, dan sosok yang mencari nafkah untuk keluarga. Melihat citra perempuan seperti ini, dimanakah letak keadilan yang bisa diambil?
Citra perempuan di balik manifestasi budaya seperti ini tentu saja menempatkan perempuan menjadi korban budaya. Sebaik dan seunik apapun budaya Indonesia, jika di salah satu sisi menempatkan perempuan ataupun laki-laki menjadi pihak yang dikorbankan, maka dengan sangat tegas penulis menolaknya. Jadi apa artinya budaya, jika hal-hal sepele seperti ini menjadi inspirasi? Bukankah kita sendiri yang membuat suatu budaya itu dan mengakui bahwa itu adalah budaya kita yang akan tetap ada untuk mengatur anak cucu kita? Budaya diibaratkan seperti undang-undang dalam negara, di manakah letak keadilan jika didapatlah manifestasi budaya seperti ini? Mengapa saya menolak dengan sangat tegas ketika melihat budaya seperti ini? Karena jika sudah tidak masuk akal dan tidak sesuai dengan kemanusiaan, saya akan menolaknya. Benar bahwa, apa artinya sebuah bangsa tanpa imanjinasi? Pasti akan miskin budaya. Tidak bahagia. Kita pun tak bisa menghapus budaya, karena akan menyebabkan karakter bangsa ini berkurang. Tapi setidaknya kita dapat merubah kejanggalan budaya yang telah ada, sehingga menuju kepada keadilan bersama.duniaassalamualaikum.blogspot.com/2015/12/citra-perempuan-di-balik-manifestasi.html?spref=fb

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "CITRA PEREMPUAN DI BALIK MANIFESTASI BUDAYA"