ANALISIS PUISI INDONESIA ANGKATAN 1970-1980
A.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Puisi adalah karya sastra
dengan bahasa yang dipadatkan, dipersingkat, dan diberi irama dengan bunyi yang
padu dan pemilihan kata-kata kias (imajinatif). Kata-kata tersebut betul-betul
terpilih agar memiliki kekuatan pengucapan. Walaupun singkat atau padat, namun
berkekuatan. Karena itu, salah satu usaha penyair adalah memilih kata-kata yang
memiliki persamaan bunyi (rima). Kata-kata itu mewakili makna yang lebih luas
dan lebih banyak. Karena itu, kata-kata dicarikan konotasi atau makna
tambahannya dan dibuat bergaya dengan bahasa figuratif. Penggunaan rima, irama,
sampai pada pemilihan kata, juga dipengaruhi oleh penyair sesuai dengan makna
yang akan dimunculkan dari gaya bahasanya serta berujung pada makna keseluruhan
isi puisi (tema). Hal yang demikian, juga mencerminkan karakteristik khusus
para penyair untuk mengungkapkan gagasannya lewat puisi.
Oleh karena itu, karakteristik penyair dan keberagaman tema yang
dimunculkan dalam puisinya, perlu dianalisis agar pembaca mendapatkan pemahaman
yang tepat dalam kegiatan apresiasi, khususnya pada puisi-puisi penyair
Indonesia Angkatan 70-an dan 80-an yang banyak mengangkat tema tentang nilai
agama, budaya, kehidupan sosial, masalah pendidikan, dan sebagainya.
1.2. Tujuan
Tulisan ini bertujuan
membantu penulis dan pembaca menambah wawasannya dalam kegiatan apresiasi puisi
dengan mengenali penyair-penyair Indonesia Angkatan 70-an dan 80-an, serta
memahami tema karakteristik puisinya.
1.3.Manfaat
Manfaat yang
bisa didapatkan penulis maupun pembaca, yaitu dapat membandingkan membedakan
ciri-ciri dan tema puisi dari tiap-tiap penyair angkatan 70-an dan 80-an,
ataupun membandingkan dan membedakan ciri-ciri dan tema puisi dengan penyair
pada angkatan-angkatan sebelumnya yang telah dipelajari.
B.
PEMBAHASAN
- Penyair Angkatan 1970-an
1)
Sutardji Calzoum Bachri Sutardji Calzoum Bachri lahir 24 Juni 1941 di Rengat (Riau)
pendidikan terakhirnya adalah Jurusan Administrasi Negara, Fakultas Sosial dan
Politik Universitas Padjadjaran Bandung. Sutardji bisa dikatakan sebagai
penyair yang ekspresif untuk membentuk sajak yang non-konvensional. Hal ini
dapat dilihat dari faktor ketatabahasaan sajak-sajaknya yang mempergunakan
penyimpangan-penyimpangan dari tata bahasa normatif untuk mendapatkan arti baru
dan ekpresivitas karena “keanehan”nya, yang pada umumnya belum pernah dicoba
secara intensif oleh penyair-penyair sebelumnya. Penyimpangan itu di antaranya
berupa penghapusan tanda baca, pemutusan kata, pembalikan kata, penggandengan dua
kata atau lebih, penghilangan imbuhan, pembentukan jenis kata dari jenis kata
lain tanpa mengubah bentuk morfologinya. Salah satu contoh sajak Sutardji yang
banyak mendapatkan tanggapan, yaitu sajak “Tragedi Winka & Sihka” yang
dianggap sebagai penyimpangan yang berupa pemutusan kata.
Sajak tersebut
hanya terdiri dari dua kata ‘kawin’ dan ‘kasih’ yang dipotong-potong menjadi
suku kata-suku kata, juga dibalik menjadi ‘winka’ dan ‘sihka’. Kebanyakan
berpendapat bahwa sajak tersebut hanya ‘bermain-main’. Tetapi, sebenarnya sajak
di atas mengandung tema “suka duka dalam kehidupan suami istri”. Berikut salah
satu tafsiran makna sajak Sutardji tersebut jika dilihat dari sudut pandang
tipografi atau susunan huruf yang berbelok-belok ; Perkawinan yang mengandung
ideal kehidupan suami-isteri yang penuh kebahagiaan, yang pada mulanya masih
penuh kebahagiaan, melalui perjalanan hidup yang berliku-liku (misal
pertengkaran, penyelewengan suami-isteri, masalah keuangan, dan sebagainya),
pada akhirnya mengalami kemalangan atau bencana, misalnya saja sesudah mereka
beranak lima “terpaksa” bercerai. Tentulah ini merupakan “tragedi winka &
sihka” yang merupakan kebalikan kebahagiaan kawin dan kasih, yaitu kalau
perkawinan berjalan mulus tanpa halangan (Pradopo, 2007; 210). Contoh penyimpangan lain faktor
ketatabahasaan dapat dilihat pada sajak-sajak yang berjudul “Collones Sans
Fins”, “Pot”, “Biarkan”, “Sculpture”, “Hilang (ketemu)”, dan “kakek-kakek dan
bocah-bocah”.
2)
Hartoyo Andangjaya Salah satu ciri puisi Hartoyo Andangjaya
berupa sajak yang panjang dan banyak mengangkat tema kehidupan atau kondisi sosial
pada jamannya, seperti yang terlihat pada salah satu puisinya berikut ini :
Rakyat
Rakyat ialah kita
jutaan tangan yang mengayun dalam kerja
dibumi tanah tercinta
jutaan tangan yang mengayun bersama
membuka hutan lalang jadi ladang-ladang berbunga
mengepulkan asap dari cerobong pabrik-pabrik dikota
menaikan layar, menebar jala
meraba kelam ditambang logam batubara
Rakyat ialah tangan yang bekerja
jutaan tangan yang mengayun dalam kerja
dibumi tanah tercinta
jutaan tangan yang mengayun bersama
membuka hutan lalang jadi ladang-ladang berbunga
mengepulkan asap dari cerobong pabrik-pabrik dikota
menaikan layar, menebar jala
meraba kelam ditambang logam batubara
Rakyat ialah tangan yang bekerja
Rakyat ialah kita
otak yang menapak sepanjang jemaring angka-angka
yang selalu berkata dua adalah dua
yang bergerak disimpangsiur garis niaga
Rakyat ialah otak yang menulis angka-angka
otak yang menapak sepanjang jemaring angka-angka
yang selalu berkata dua adalah dua
yang bergerak disimpangsiur garis niaga
Rakyat ialah otak yang menulis angka-angka
Rakyat ialah kita
beragam suara dilangit tanah tercinta
suara bangsi di rumah berjenjang bertangga
suara kecapi dipegunungan jelita
suara bonang mengambang dipendapa
suara kecak dimuka pura
suara tifa dihutan kebun pala
Rakyat ialah suara beraneka
beragam suara dilangit tanah tercinta
suara bangsi di rumah berjenjang bertangga
suara kecapi dipegunungan jelita
suara bonang mengambang dipendapa
suara kecak dimuka pura
suara tifa dihutan kebun pala
Rakyat ialah suara beraneka
Rakyat ialah kita
puisi kaya makna diwajah semesta
didarat
hari yang berkeringat
gunung batu berwarna coklat
dilaut
angin yang menyapu kabut
awan menyimpan topan
Rakyat ialah puisi diwajah semesta
puisi kaya makna diwajah semesta
didarat
hari yang berkeringat
gunung batu berwarna coklat
dilaut
angin yang menyapu kabut
awan menyimpan topan
Rakyat ialah puisi diwajah semesta
Rakyat ialah kita
darah ditubuh bangsa
debar sepanjang masa
darah ditubuh bangsa
debar sepanjang masa
Jutaan
tangan yang mengayun dalam kerja
Puisi “Rakyat” di atas menggambarkan bahwa kekuasaan
ada di tangan rakyat. Oleh karena itu, suara rakyat (jelata) harus didengarkan
oleh setiap pengambil keputusan atau pemegang kekuasaan negara.
3)
Darmanto Jt (1970-an) Penyair
Darmanto Jt hidup dalam lingkungan sosial-budaya Jawa, maka ia tak terhindar
dari latar kebudayaan Jawa yang berupa cerita-cerita Jawa, wayang Jawa. Dan
pandangan hidup orang Jawa. Ciri-ciri sajaknya yang kental dengan kebudayaan
Jawa, diantaranya sajak “Istri” berikut :
Isteri
Isteri sangat
penting untuk kita
Menyapu pekarangan
Memasak di dapur
Mencuci di Sumur
Mengirim
rantang ke sawah
Dan mengeroki
kita kalau kita masuk angin
Ya. Isteri
sangat penting untuk kita
Ia sisihan kita
Kalau kita
pergi kondangan
Ia tetimbangan
kita
Kalau kita mau
jual palawija
Ia teman
belakang kita
Kalau kita
lapar dan mau makan
Ia segaraning
nyawa kita
Kalau kita
Ia sakit kita!
Ah. Lihatlah ia
menjadi sama penting dengan kerbau, luku, sawah dan pohon kelapa.
Ia kita cangkul
malam hari dan tak pernah ngeluh walaupun capek. Ia selalu rapih menyimpan benih
yang kita tanamkan dengan rasa syukur; tau terima kasih dan meninggikanharkat
kita sebagai laki-laki. Ia selalu memelihara anak-anak kita dengan
sungguh-sungguh seperti kita memelihara ayam, itik, kambing atau jagung.
Ah. Ya. Isteri
sangat penting bagi kita justru ketika kita mulai melupakannya:
Seperti
lidah ia di mulut kita
tak terasa
Seperti jantung
di dada kita
tak terasa
Ya. Ya. Isteri
sangat penting bagi kita justru ketika mulai melupakannya.
Jadi
waspadalah!
Tetep, madep,
mantep
Gemati,
nastiti, ngati-ati
Supaya kita
mandiri, perkasa dan pintar ngatur hidup
Tak tergantung
tengkulak, apak dukuh, bekel atau lurah
Seperti
Subbadra bagi Aruna
Makin jelita ia di antara maru-marunya;
Seperti Arimbi
bagi Bima
Jadilah ia
jelita ketika melahirkan jabangtetuka;
Seperti Sawitri
bagi Setyawan
Ia memelihara
nyawa kita dari malapetaka.
Ah. Ah. Ah.
Alangkah
pentingnya isteri ketika kita mulai melupakannya.
Hormatilah
isterimu
Seperti kau
menghormati Dewi Sri
Sumber hidupmu
Makanlah
Karena memang
demikianlah suratannya!
Sajak di atas
mengandung tema kodrat istri dalam kehidupan masyarakat Jawa. Istri yang
digambarkan dalam sajak tersebut “hanya” disejajarkan dengan kerbau sebagai
alat pertanian yang menentukan kelangsungan hidupnya. Selain itu, sajak
tersebut sangat jelas menggambarkan kedudukan istri dalam kehidupan rumah
tangga, khususnya masyarakat Jawa, terlebih di dalam masyarakat petani di desa.
Kedudukan dan guna istri tersebut jelas tergambar dalam bait pertama.
Jadi, ciri-ciri
dan tema sajak Darmanto tersebut, banyak mengangkat latar belakang kehidupan
masyarakat Jawa. Sehingga dengan memahami latar sosial budayanya, pembaca dapat
memberikan penilaian yang setepatnya kepada sajak-sajak Darmanto yang
mengisahkan budaya Jawa.
4)
Sapardi Djoko Damono (Angkatan 1970-an) Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono adalah seorang pujangga Indonesia terkemuka. Ia dikenal
dari berbagai puisi-puisi yang
menggunakan kata-kata sederhana, sehingga beberapa di antaranya sangat populer.
Salah satu sajak SDD yang akan dibahas, sangat singkat, sebagaimana tampak
berikut ini:
Tuan
Tuan Tuhan, bukan? Tunggu
sebentar saya sedang keluar
Dalam sajak
tersebut, SDD mengilustrasikan seakan-akan sedang bercakap-cakap dengan
tuhannya, dan ia memposisikan dirinya sebagai seorang yang melalaikan ajaran
agama. Hal ini dapat dilihat pada makna kalimat “saya sedang keluar.” Ini tidak
bermakna konkret, seperti yang biasa kita kenal dengan kalimat “dia sedang
keluar” yang bertarti sedang pergi. Dalam sajak ini, kalimat tersebut bermakna
“saya sedang keluar dari jalan-Mu” atau “saya tidak sedang melakukan
perintah-Mu.” Sajak ini
adalah salah satu yang bertemakan ketuhanan. Para pengamat menilai sajak-sajak
Sapardi dekat dengan Tuhan dan kematian. Sajak-sajak yang memiliki tema yang
sama antara lain; “Tentang Matahari”, “Sajak Tafsir”, “Aku Ingin”, “Tentang
Mahasiswa yang Mati”, dan sebagainya. Dengan sajak-sajaknya tersebut
menggambarkan bahwa Sapardi memandang maut dan kematian sebagai bagian dari
kehidupan; bersama kehidupan itu pulalah maut
tumbuh.
5)
Yudhistira
Adinugraha Massardi Lahir
di Subang, Jawa Barat, 28 Februari 1954. Puisi-puisi karya Yudhistira mirip
dengan puisi mbeling yaitu puisi yang
keluar dari pakem penulisan puisi yang harus memperhatikan rima, bunyi,
versifikasi/bahasa figuratif, dan tipografi, namun bukan berarti puisi yang
dibuat dengan main-main, tanpa adanya kesungguhan. Ciri-ciri tersebut terdapat
pada puisi Yudhistira berikut ;
Sajak
Sikat Gigi
Seorang lupa menggosok
giginya sebelum tidur Di dalam tidurnya ia
bermimpi Ada sikat gigi menggosok-gosok
mulutnya supaya terbuka.
Ketika ia bangun pagi hari Sikat giginya tinggal sepotong Sepotong yang hilang itu
agaknya Tersesat di dalam mimpinya dan tak
bisa kembali Dan ia berpendapat bahwa
kejadian itu terlalu berlebih-lebihan (Sajak
Sikat Gigi, 1974)
Puisi “Sajak Sikat Gigi” ini seperti prosa. Tidak ada
unsur bahasa figuratif, tetapi penyair berhasil memainkan bayangan pikiran kita
denga permainan kata-kata yang lincah. Puisi ini dapat dikatakan bertema
kehidupan, yaitu antara alam mimpi dan kenyataan saling berhubungan.
2. Penyair Angkatan 1980-an
1) Emha Ainun Najib
Lahir di Jombang, 27 Mei 1953. Ia mendapat julukan
Kiai Mbeling, ia banyak memebrikan ceramah keagamaan dan menciptakan lagu-lagu
religius. Ciri-ciri puisi Emha Ainun Najib yaitu berupa sajak panjang yang
isinya terinspirasi dari makna keagamaan dan kekayaan alam untuk mengungkapkan
kebesaran dan keagungan Tuhan. Ciri-ciri tersebut dapat dilihat pada puisinya
“Putih, Putih, Putih”.
Putih, Putih, Putih
Meratap bagai bayi Terkapar bagai si tua renta
Di padang mahsyar
Di padang penantian
Di depan pintu gerbang janji keabadian
Saksikan beribu-ribu jilbab
Hai! Bermilyar-milyar jilbab!
Samudera putih
Lajutan cinta kasih
Gelombang sejarah
Pengembaraan amat panjang
Di padang Mahsyar
Menjelang hari perhitungan
Seribu galaksi
Hamparan jiwa suci
Bersujud
Putih, putih, putih
Bersujud
Menyeru beelaian tanngan
kekasih
Bersujud
Dan alam raya
Jagad segala jagad
Bintang-bintang dan ruang
kosong
Mendengar panggilan itu
Dengan telinga ilmu seratus
abad:
-
Wahai jiwa hening
Wahai mutmainah
Kembalilah kepada Tuhanmu
Dengan rela dan relakan
Masuklah ke pihakku
Masuklah sorgaku
Wahai jiwa, wahai yang telah
jiwa!
Wahai telaga
Yang hening
Hingga tiada!
(Lautan
Jilbab, 1989)
Puisi “Putih,
Putih, Putih” ini adalah puisi yang bertema religius atau keagamaan. Setiap
larik puisi-puisi di atas adalah simbol kesucian yang mengacu pada warna
jilbab kaum muslimah. Sedangkan sajak panjang lainnya yang terinspirasi dari
kekayaan alam untuk mengungkapkan keagungan Tuhan dapat dilihat pada puisi “Doa
Sawah Ladang”.
2) Agnes Sri Hartini Arswendo
Lahir di Solo tahun 1950. Puisinya “Sajak di Sembarang
Kampung” memenangkan sayembara penulisan puisi yang diselenggarakan oleh BBC
London (1986). Sebagian puisi-puisinya diilhami oleh kematian anaknya dan
pengalaman hidupnya. Berikut ini
ditampilkan salah satu puisi yang merupakan hasil interpretasi dari pengalaman
hidupnya ;
Sajak di Sembarang Kampung
Di sebuah kampung di kota
metropolitan
tak diperlukan sajak, karena anak-anak
bagai ayam. Dilepas waktu dini
dan baru larut malam nanti dipaksa tidur dengan tangis
setelah sepanjang siang mengais dan melengking
tak diperlukan sajak, karena anak-anak
bagai ayam. Dilepas waktu dini
dan baru larut malam nanti dipaksa tidur dengan tangis
setelah sepanjang siang mengais dan melengking
Di sebuah kampung itu, tak ada
batas-batas
ruang tidak ialah tempat makan dan marah
kamar mandi milik bersama, dan bau pesing
disumbangkan beramai-ramai
desas-desus berlalu lalang dengan deras
ruang tidak ialah tempat makan dan marah
kamar mandi milik bersama, dan bau pesing
disumbangkan beramai-ramai
desas-desus berlalu lalang dengan deras
- kau tak mengenal lagi
apakah yang tergantung itu boneka atau bayi
apakah yang tergantung itu boneka atau bayi
Tak ada ejek-mengejek, tapi semua
merasa tersindir
tak ada pekerjaan, tapi semua kelelahan, pusing
bahkan hampir pingsan, katanya karena pennyakit jantung
perut selalu lapar, meskpun hutang semakin menggunung
tak ada pekerjaan, tapi semua kelelahan, pusing
bahkan hampir pingsan, katanya karena pennyakit jantung
perut selalu lapar, meskpun hutang semakin menggunung
-
Sepuluh tikus dalam kotak sabun
tak membayangkan bakal rukun
tak membayangkan bakal rukun
Di
seberang kampung, di kota metropolitan dan bukan
harapan telah lama dibunuh oleh mimpi, lewat badai iklan
Harga diri telah terbeli, diantaranya secara resmi
harapan telah lama dibunuh oleh mimpi, lewat badai iklan
Harga diri telah terbeli, diantaranya secara resmi
adakah kau masih menulis puisi
pada saat seharusnya menyusui?
pada saat seharusnya menyusui?
(Tonggak IV,1987)
Puisi “Sajak di Sembarang Kampung” memiliki tema
tentang kritik sosial tentang kehidupan kumuh di kota metropolitan Jakarta.
Bagi orang Solo yang baru sampai di Jakarta (saat itu) dan tinggal di
perkampungan kumuh, penyair merasa tidak nyaman hidup di lingkungan tersebut,
karena adanya berbagai persoalan (sosial dan ekonomi) seperti yang diungkapkan
dalam larik-larik puisi tersebut. Adapun puisi yang bertema kedukaan karena
kematian anaknya terdapat pada puisinya yang berjudul “Dari Jendela”.
3) F. Rahardi
Lahir di Ambarawa, 10 Juni 1950. Ciri-ciri puisi
Rahardi yang membedakannya dengan penyair lain pada angkatan 80-an, terletak
pada tipografi puisi yang tidak mengenal pembaitan dan jumlah baris, serta terjadinya
penyimpangan ketatabahasaan yang berupa pemutusan kata pada beberapa puisinya.
Ciri-ciri puisinya tersebut dapat dikatakan memiliki kesamaan dengan sajak
“Tragedi Winka dan Sihka” karya Sutardji Calzoum Bachri (Angkatan 70-an).
Berikut ditampilakan puisinya yang berjudul “Sajak Transmigran II”
Sajak Transmigran II
Dia selalu singkong dan terus menerus singkong hari ini singkong tadi
malam singkong besok mungkin singkong besoknya
lagi juga singkong di rumah sepotong singkong di ladang seikat singkong di pasar segerobak singkong di rumah tetangga sepiring singkong enam bulan lagi tetap sigkong
setahun lagi tetap singkong sepuluh tahun masih singkong
dua
puluh tahun makin singkong dan
lima puluh tahun kemudian transmigran beruban sakit-sakitan mati lalu
di kubur di ladang singkong
(Soempah WTS, 1983)
Sajak “Transmigran II” bertema kritik sosial. Penyair
mengkritik pemerintah tentang kegagalan program transmigrasi di daerah miskin.
Dengan bertransmigrasi, mereka (para transmigran) sebenarnya ingin terbebas
dari kemikinan (dilambangkan dengan singkong).
Ternyata di daerah tranmigrasi mereka tetap akrab dengan singkong alias kemiskinan.
Selain itu, terdapat juga puisi “Doktorandus Tikus”
karya Rahardi yang mengemukakan tema tentang kritik sosial dalam dunia
pendidikan.
Doktorandus Tikus I
Selusin toga me nga
nga seratus tikus berkampus di
atasnya dosen
di jerat profesor diracun kucing kawin dan
bunting dengan
predikat sangat
memuaskan (Soempah,WTS,
1983)
Isi puisi tersebut bercerita tentang pencapaian gelar
doktorandus dengan cara yang menyimpang, seratus
tikus berkampus di atasnya. Pejabat perguruan tinggi dipandang penyair
sebagai tikus-tikus (koruptor).
4) Eka Budianta
Lahir di
Ngimbang, Jawa Timur, 1 Februari 1956. Pernah kuliah di Jurusan Sastra Jepang
dan Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra Universitas Indonesia (tidak tamat), juga
jurusan jurnalistik pada sebuah college di
Amerika Serikat. Ciri-ciri
puisi Eka Budianta ialah penggunaan bahasa yang lugas dan tegas pada setiap
lariknya, serta memiliki susunan baris yang rapi pada tiap bait. Artinya,
antara bait satu, dua, dan tiga memiliki jumlah baris yang sama. Ciri-cirinya
dapat ditemukan pada buku kumpulan puisinya Sejuta
Milyar Satu (1984).
Renungan
Bapak Guru
Buat apa pendidikan, aku
bertanya
Mengajarmu kenal yang agung, jawab gunung
Agar kau tahu kekekalan, kata langit
Bisa menikmati keindahan, tambah matahari
Supaya tahu keburukan, seru hutan
Paham pada diri sendiri, siul burung
Dan bikin kau dinamis, bisik angin
Apa manfaatnya bagiku, aku bertanya
Supaya pikiranmu jernih, ujar kolam
Dan jiwamu berseri, bujuk teratai
Aku tak paham juga meski begitu
Supaya kamu mencintai hidup, bentak pohon
Tahu kebebasan dan keterbatasan, nasihat bulan
Tak puas dengan semua penjelasan itu aku tidur
Esok harinya aku bangun dan tidak bertanya lagi
Tapi mengapa kau bangun? tanya jendela
Untuk apa kau hidup? desak udara
Mengapa kau termangu? hardik batu-batu
Kau ingin mati ya? ejek bunga-bunga
Bagaimana aku bisa menjawab mereka?
Bapak guru cuma bisa bertanya-tanya
Mengajarmu kenal yang agung, jawab gunung
Agar kau tahu kekekalan, kata langit
Bisa menikmati keindahan, tambah matahari
Supaya tahu keburukan, seru hutan
Paham pada diri sendiri, siul burung
Dan bikin kau dinamis, bisik angin
Apa manfaatnya bagiku, aku bertanya
Supaya pikiranmu jernih, ujar kolam
Dan jiwamu berseri, bujuk teratai
Aku tak paham juga meski begitu
Supaya kamu mencintai hidup, bentak pohon
Tahu kebebasan dan keterbatasan, nasihat bulan
Tak puas dengan semua penjelasan itu aku tidur
Esok harinya aku bangun dan tidak bertanya lagi
Tapi mengapa kau bangun? tanya jendela
Untuk apa kau hidup? desak udara
Mengapa kau termangu? hardik batu-batu
Kau ingin mati ya? ejek bunga-bunga
Bagaimana aku bisa menjawab mereka?
Bapak guru cuma bisa bertanya-tanya
(Sejuta
Milyar Satu, 1984)
Di atas
ditampilkan salah satu puisinya yang berjudul “Renungan Bapak Guru” yang
bertema kritik sosial terhadap pendidikan. Dalam puisi ini penyair meragukan
pendidikan seolah-olah tidak berguna karena ternyata orang-orang yang sudah
memperoleh pendidikan belum tentu memahami kekuasaan Tuhan, kekekalan, keindahan,
keburukan, dan memahami diri sendiri.
5) K.H.A.
Mustofa Bisri
Pak Kiai yang
juga penyair ini adalah pengasuh sebuah pondok pesantren di Rembang yang
dipimpin oleh kakaknya, seorang ulama Nahdlatul Ulama yang terkenal, yaitu K.H.
Cholil Bisri. Puisi-puisinya banyak memadukan sikap religiusitas dengan kritik
sosial terhadap kepincangan kehidupan di negeri kita dan banyak mengangkat tema
kehidupan manusia yang berusaha dikaitkan dengan segala sesuatu yang ada di
alam ini. Salah satu sajak yang bertema kritik sosial, yaitu “Negeriku”.
Sedangkan puisinya yang sangat kental dengan sikap religiusitas, terutama
terhadap kaum perempuan dapat dilihat pada sajak berikut ini:
Ibu
Kaulah gua teduh
tempatku bertapa bersamamu
sekian lama
Kaulah kawah
darimana aku meluncur dengan
perkasa
Kaulah bumi
yang tergelar lembut bagiku
melepas lelah dan nestapa
gunung yang menjaga mimpiku
siang
dan malam
mata
air yang tak brenti mengalir
membasahi
dahagaku
telaga
tempatku bermain
berenang
dan menyelam
Kaulah,
ibu, laut dan langit
yang
menjaga lururs horisonku
Kaulah,
ibu, mentari dan rembulan
yang
mengawal perjalananku
mencari
jejak sorga
di
telapak kakimu
(Tuhan,
aku
bersaksi
ibuku
telah melaksanakan amanat-Mu
menyampaikan
kasih sayangMu
maka
kasihilah ibuku
seperti
Kau mengasihi
kekasih-kekasihMu
Amin)
(Pahlawan dan
Tikus, 1995)
Puisi di atas bertema cinta kasih kepada orang tua.
Penyair menyadari (dan juga menyadarkan kita ) bahwa dari perut ibunyalah ia meluncur dengan perkasa dengan bantuan kawah atau rahim. Karean itu, penyair
mengumpamakan ibunya sebagai bumi, laut,
dan langit, serta mentari dan rembulan. Dikatakan sebagai bumi, karena ibu dinyatakan sebagai penuh kelembutan / pelepas dahaga dan
nestapa / gunung yang menjaga mimpiku siang malam / mata air yang tak brenti
mngalir / membasahi dahagaku / dan sebagai telaga tempatku bermain, berenang,
dan menyelam (semua yang dianyatakan disini masih dalam kaitannya dengan
bumi).
C.
KESIMPULAN
Puisi periode 1970-an dan 1980-an disebut juga dengan puisi kontemporer,
yakni puisi yang muncul dengan bentuk dan gaya yang tidak mengikuti kaidah
puisi pada umumnya, dan memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan puisi lainnya.
Dalam puisi kontemporer, salah satu ciri yang penting adalah adanya eksplorasi
sejumlah kemungkinan baru, antara lain berupa penyimpangan ketatabahasaan,
seperti pemutusan suku kata. Selain itu, terdapat juga penggunaan idiom-idiom
baru, bertipografi baru (tidak konvensional), dan banyaknya penggunaan kata
dari bahasa daerah yang menunjukkan kedaerahaannya.
Adapun tema yang terlihat pada puisi angkatan 1970-an--1980-an, yakni :
(a) protes sosial (Kesadaran bahwa aspek manusia
merupakan subjek dan bukan obyek pembangunan), (b) religius (Banyak mengungkapkan kehidupan batin atau keagamaan),
(c) perjuangan (Perjuangan hak-hak asasi manusia :
kebebasan, persamaan, pemerataan, dan terhindar dari pencemaran teknologi
modern), dan (d) kritik sosial (kritik sosial terhadap pemimpin atau penguasa negara yang
bertindak sewenang-wenang terhadap mereka yang lemah).
DAFTAR PUSTAKA
Rahmat Djoko Pradopo. 2007. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Waluyo, Herman J. 2003. Apresiasi Puisi. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Belum ada tanggapan untuk "ANALISIS PUISI INDONESIA ANGKATAN 1970-1980"
Post a Comment