ANALISIS PUISI INDONESIA ANGKATAN 1970-1980


ANALISIS PUISI INDONESIA ANGKATAN 1970-1980


A.    PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
  Puisi adalah karya sastra dengan bahasa yang dipadatkan, dipersingkat, dan diberi irama dengan bunyi yang padu dan pemilihan kata-kata kias (imajinatif). Kata-kata tersebut betul-betul terpilih agar memiliki kekuatan pengucapan. Walaupun singkat atau padat, namun berkekuatan. Karena itu, salah satu usaha penyair adalah memilih kata-kata yang memiliki persamaan bunyi (rima). Kata-kata itu mewakili makna yang lebih luas dan lebih banyak. Karena itu, kata-kata dicarikan konotasi atau makna tambahannya dan dibuat bergaya dengan bahasa figuratif. Penggunaan rima, irama, sampai pada pemilihan kata, juga dipengaruhi oleh penyair sesuai dengan makna yang akan dimunculkan dari gaya bahasanya serta berujung pada makna keseluruhan isi puisi (tema). Hal yang demikian, juga mencerminkan karakteristik khusus para penyair untuk mengungkapkan gagasannya lewat puisi.
Oleh karena itu, karakteristik penyair dan keberagaman tema yang dimunculkan dalam puisinya, perlu dianalisis agar pembaca mendapatkan pemahaman yang tepat dalam kegiatan apresiasi, khususnya pada puisi-puisi penyair Indonesia Angkatan 70-an dan 80-an yang banyak mengangkat tema tentang nilai agama, budaya, kehidupan sosial, masalah pendidikan, dan sebagainya.
1.2. Tujuan
     Tulisan ini bertujuan membantu penulis dan pembaca menambah wawasannya dalam kegiatan apresiasi puisi dengan mengenali penyair-penyair Indonesia Angkatan 70-an dan 80-an, serta memahami tema karakteristik puisinya.
1.3.Manfaat
Manfaat yang bisa didapatkan penulis maupun pembaca, yaitu dapat membandingkan membedakan ciri-ciri dan tema puisi dari tiap-tiap penyair angkatan 70-an dan 80-an, ataupun membandingkan dan membedakan ciri-ciri dan tema puisi dengan penyair pada angkatan-angkatan sebelumnya yang telah dipelajari.
                                                                             




B.     PEMBAHASAN
  1. Penyair Angkatan 1970-an
1)      Sutardji Calzoum Bachri                                                                                       Sutardji Calzoum Bachri lahir 24 Juni 1941 di Rengat (Riau) pendidikan terakhirnya adalah Jurusan Administrasi Negara, Fakultas Sosial dan Politik Universitas Padjadjaran Bandung. Sutardji bisa dikatakan sebagai penyair yang ekspresif untuk membentuk sajak yang non-konvensional. Hal ini dapat dilihat dari faktor ketatabahasaan sajak-sajaknya yang mempergunakan penyimpangan-penyimpangan dari tata bahasa normatif untuk mendapatkan arti baru dan ekpresivitas karena “keanehan”nya, yang pada umumnya belum pernah dicoba secara intensif oleh penyair-penyair sebelumnya. Penyimpangan itu di antaranya berupa penghapusan tanda baca, pemutusan kata, pembalikan kata, penggandengan dua kata atau lebih, penghilangan imbuhan, pembentukan jenis kata dari jenis kata lain tanpa mengubah bentuk morfologinya. Salah satu contoh sajak Sutardji yang banyak mendapatkan tanggapan, yaitu sajak “Tragedi Winka & Sihka” yang dianggap sebagai penyimpangan yang berupa pemutusan kata.                                                                     
Sajak tersebut hanya terdiri dari dua kata ‘kawin’ dan ‘kasih’ yang dipotong-potong menjadi suku kata-suku kata, juga dibalik menjadi ‘winka’ dan ‘sihka’. Kebanyakan berpendapat bahwa sajak tersebut hanya ‘bermain-main’. Tetapi, sebenarnya sajak di atas mengandung tema “suka duka dalam kehidupan suami istri”. Berikut salah satu tafsiran makna sajak Sutardji tersebut jika dilihat dari sudut pandang tipografi atau susunan huruf yang berbelok-belok ; Perkawinan yang mengandung ideal kehidupan suami-isteri yang penuh kebahagiaan, yang pada mulanya masih penuh kebahagiaan, melalui perjalanan hidup yang berliku-liku (misal pertengkaran, penyelewengan suami-isteri, masalah keuangan, dan sebagainya), pada akhirnya mengalami kemalangan atau bencana, misalnya saja sesudah mereka beranak lima “terpaksa” bercerai. Tentulah ini merupakan “tragedi winka & sihka” yang merupakan kebalikan kebahagiaan kawin dan kasih, yaitu kalau perkawinan berjalan mulus tanpa halangan (Pradopo, 2007; 210).                                   Contoh penyimpangan lain faktor ketatabahasaan dapat dilihat pada sajak-sajak yang berjudul “Collones Sans Fins”, “Pot”, “Biarkan”, “Sculpture”, “Hilang (ketemu)”, dan “kakek-kakek dan bocah-bocah”.




2)      Hartoyo Andangjaya                                                                                                                          Salah satu ciri puisi Hartoyo Andangjaya berupa sajak yang panjang dan banyak mengangkat tema kehidupan atau kondisi sosial pada jamannya, seperti yang terlihat pada salah satu puisinya berikut ini :
Rakyat
Rakyat ialah kita
jutaan tangan yang mengayun dalam kerja
dibumi tanah tercinta
jutaan tangan yang mengayun bersama
membuka hutan lalang jadi ladang-ladang berbunga
mengepulkan asap dari cerobong pabrik-pabrik dikota
menaikan layar, menebar jala
meraba kelam ditambang logam batubara
Rakyat ialah tangan yang bekerja
Rakyat ialah kita
otak yang menapak sepanjang jemaring angka-angka
yang selalu berkata dua adalah dua
yang bergerak disimpangsiur garis niaga
Rakyat ialah otak yang menulis angka-angka
Rakyat ialah kita
beragam suara dilangit tanah tercinta
suara bangsi di rumah berjenjang bertangga
suara kecapi dipegunungan jelita
suara bonang mengambang dipendapa
suara kecak dimuka pura
suara tifa dihutan kebun pala
Rakyat ialah suara beraneka
Rakyat ialah kita
puisi kaya makna diwajah semesta
didarat
hari yang berkeringat
gunung batu berwarna coklat
dilaut
angin yang menyapu kabut
awan menyimpan topan
Rakyat ialah puisi diwajah semesta
Rakyat ialah kita
darah ditubuh bangsa
debar sepanjang masa
Jutaan tangan yang mengayun dalam kerja
              Puisi “Rakyat” di atas menggambarkan bahwa kekuasaan ada di tangan rakyat. Oleh karena itu, suara rakyat (jelata) harus didengarkan oleh setiap pengambil keputusan atau pemegang kekuasaan negara.

3)      Darmanto Jt (1970-an)                                                                                                      Penyair Darmanto Jt hidup dalam lingkungan sosial-budaya Jawa, maka ia tak terhindar dari latar kebudayaan Jawa yang berupa cerita-cerita Jawa, wayang Jawa. Dan pandangan hidup orang Jawa. Ciri-ciri sajaknya yang kental dengan kebudayaan Jawa, diantaranya sajak “Istri” berikut :

Isteri

Isteri sangat penting untuk kita

Menyapu pekarangan

Memasak di dapur

Mencuci di Sumur

Mengirim rantang ke sawah

Dan mengeroki kita kalau kita masuk angin

Ya. Isteri sangat penting untuk kita



Ia sisihan kita

Kalau kita pergi kondangan

Ia tetimbangan kita

Kalau kita mau jual palawija

Ia teman belakang kita

Kalau kita lapar dan mau makan

Ia segaraning nyawa kita

Kalau kita

Ia sakit kita!

Ah. Lihatlah ia menjadi sama penting dengan kerbau, luku, sawah dan pohon kelapa.

Ia kita cangkul malam hari dan tak pernah ngeluh walaupun capek. Ia selalu rapih menyimpan benih yang kita tanamkan dengan rasa syukur; tau terima kasih dan meninggikanharkat kita sebagai laki-laki. Ia selalu memelihara anak-anak kita dengan sungguh-sungguh seperti kita memelihara ayam, itik, kambing atau jagung.

Ah. Ya. Isteri sangat penting bagi kita justru ketika kita mulai melupakannya:
Seperti lidah ia di mulut kita

tak terasa

Seperti jantung di dada kita

tak terasa



Ya. Ya. Isteri sangat penting bagi kita justru ketika mulai melupakannya.


Jadi waspadalah!

Tetep, madep, mantep

Gemati, nastiti, ngati-ati

Supaya kita mandiri, perkasa dan pintar ngatur hidup

Tak tergantung tengkulak, apak dukuh, bekel atau lurah



Seperti Subbadra bagi Aruna

Makin jelita ia di antara maru-marunya;

Seperti Arimbi bagi Bima

Jadilah ia jelita ketika melahirkan jabangtetuka;

Seperti Sawitri bagi Setyawan

Ia memelihara nyawa kita dari malapetaka.



Ah. Ah. Ah.

Alangkah pentingnya isteri ketika kita mulai melupakannya.



Hormatilah isterimu

Seperti kau menghormati Dewi Sri

Sumber hidupmu

Makanlah

Karena memang demikianlah suratannya!

Sajak di atas mengandung tema kodrat istri dalam kehidupan masyarakat Jawa. Istri yang digambarkan dalam sajak tersebut “hanya” disejajarkan dengan kerbau sebagai alat pertanian yang menentukan kelangsungan hidupnya. Selain itu, sajak tersebut sangat jelas menggambarkan kedudukan istri dalam kehidupan rumah tangga, khususnya masyarakat Jawa, terlebih di dalam masyarakat petani di desa. Kedudukan dan guna istri tersebut jelas tergambar dalam bait pertama.                                                                
Jadi, ciri-ciri dan tema sajak Darmanto tersebut, banyak mengangkat latar belakang kehidupan masyarakat Jawa. Sehingga dengan memahami latar sosial budayanya, pembaca dapat memberikan penilaian yang setepatnya kepada sajak-sajak Darmanto yang mengisahkan budaya Jawa.       

4)      Sapardi Djoko Damono (Angkatan 1970-an)                                                       Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono adalah seorang pujangga Indonesia terkemuka. Ia dikenal dari berbagai puisi-puisi yang menggunakan kata-kata sederhana, sehingga beberapa di antaranya sangat populer. Salah satu sajak SDD yang akan dibahas, sangat singkat, sebagaimana tampak berikut ini:
Tuan
Tuan Tuhan, bukan? Tunggu sebentar                                                                  saya sedang keluar
Dalam sajak tersebut, SDD mengilustrasikan seakan-akan sedang bercakap-cakap dengan tuhannya, dan ia memposisikan dirinya sebagai seorang yang melalaikan ajaran agama. Hal ini dapat dilihat pada makna kalimat “saya sedang keluar.” Ini tidak bermakna konkret, seperti yang biasa kita kenal dengan kalimat “dia sedang keluar” yang bertarti sedang pergi. Dalam sajak ini, kalimat tersebut bermakna “saya sedang keluar dari jalan-Mu” atau “saya tidak sedang melakukan perintah-Mu.”                                                     Sajak ini adalah salah satu yang bertemakan ketuhanan. Para pengamat menilai sajak-sajak Sapardi dekat dengan Tuhan dan kematian. Sajak-sajak yang memiliki tema yang sama antara lain; “Tentang Matahari”, “Sajak Tafsir”, “Aku Ingin”, “Tentang Mahasiswa yang Mati”, dan sebagainya. Dengan sajak-sajaknya tersebut menggambarkan bahwa Sapardi memandang maut dan kematian sebagai bagian dari kehidupan; bersama kehidupan itu pulalah      maut tumbuh.

5)      Yudhistira Adinugraha Massardi                                                                                      Lahir di Subang, Jawa Barat, 28 Februari 1954. Puisi-puisi karya Yudhistira mirip dengan puisi mbeling yaitu puisi yang keluar dari pakem penulisan puisi yang harus memperhatikan rima, bunyi, versifikasi/bahasa figuratif, dan tipografi, namun bukan berarti puisi yang dibuat dengan main-main, tanpa adanya kesungguhan. Ciri-ciri tersebut terdapat pada puisi Yudhistira berikut ;
Sajak Sikat Gigi
Seorang lupa menggosok giginya sebelum tidur                                                                       Di dalam tidurnya ia bermimpi                                                                                          Ada sikat gigi menggosok-gosok mulutnya supaya terbuka.
Ketika ia bangun pagi hari                                                                                               Sikat giginya tinggal sepotong                                                                                      Sepotong yang hilang itu agaknya                                                                          Tersesat di dalam mimpinya dan tak bisa kembali  Dan ia berpendapat bahwa kejadian itu terlalu berlebih-lebihan                                                                                                                                                    (Sajak Sikat Gigi, 1974)
Puisi “Sajak Sikat Gigi” ini seperti prosa. Tidak ada unsur bahasa figuratif, tetapi penyair berhasil memainkan bayangan pikiran kita denga permainan kata-kata yang lincah. Puisi ini dapat dikatakan bertema kehidupan, yaitu antara alam mimpi dan kenyataan saling berhubungan.

2. Penyair Angkatan 1980-an
1)  Emha Ainun Najib    
Lahir di Jombang, 27 Mei 1953. Ia mendapat julukan Kiai Mbeling, ia banyak memebrikan ceramah keagamaan dan menciptakan lagu-lagu religius. Ciri-ciri puisi Emha Ainun Najib yaitu berupa sajak panjang yang isinya terinspirasi dari makna keagamaan dan kekayaan alam untuk mengungkapkan kebesaran dan keagungan Tuhan. Ciri-ciri tersebut dapat dilihat pada puisinya “Putih, Putih, Putih”.
Putih, Putih, Putih
Meratap bagai bayi                                                                                                            Terkapar bagai si tua renta
Di padang mahsyar
Di padang penantian
Di depan pintu gerbang janji keabadian
Saksikan beribu-ribu jilbab
Hai! Bermilyar-milyar jilbab!
Samudera putih
Lajutan cinta kasih
Gelombang sejarah
Pengembaraan amat panjang
Di padang Mahsyar
Menjelang hari perhitungan
Seribu galaksi
Hamparan jiwa suci
Bersujud
Putih, putih, putih
Bersujud
Menyeru beelaian tanngan kekasih
Bersujud
Dan alam raya
Jagad segala jagad
Bintang-bintang dan ruang kosong
Mendengar panggilan itu
Dengan telinga ilmu seratus abad:
-          Wahai jiwa hening
Wahai mutmainah
Kembalilah kepada Tuhanmu
Dengan rela dan relakan
Masuklah ke pihakku
Masuklah sorgaku
Wahai jiwa, wahai yang telah jiwa!
Wahai telaga
Yang hening
Hingga tiada!

(Lautan Jilbab, 1989)
Puisi “Putih, Putih, Putih” ini adalah puisi yang bertema religius atau keagamaan. Setiap larik puisi-puisi di atas adalah simbol kesucian    yang mengacu pada warna jilbab kaum muslimah. Sedangkan sajak panjang lainnya yang terinspirasi dari kekayaan alam untuk mengungkapkan keagungan Tuhan dapat dilihat pada puisi “Doa Sawah Ladang”.

2) Agnes Sri Hartini Arswendo
Lahir di Solo tahun 1950. Puisinya “Sajak di Sembarang Kampung” memenangkan sayembara penulisan puisi yang diselenggarakan oleh BBC London (1986). Sebagian puisi-puisinya diilhami oleh kematian anaknya dan pengalaman hidupnya. Berikut ini ditampilkan salah satu puisi yang merupakan hasil interpretasi dari pengalaman hidupnya ;
Sajak di Sembarang Kampung
Di sebuah kampung di kota metropolitan
tak diperlukan sajak, karena anak-anak
bagai ayam. Dilepas waktu dini
dan baru larut malam nanti dipaksa tidur dengan tangis
setelah sepanjang siang mengais dan melengking
Di sebuah kampung itu, tak ada batas-batas
ruang tidak ialah tempat makan dan marah
kamar mandi milik bersama, dan bau pesing
disumbangkan beramai-ramai
desas-desus berlalu lalang dengan deras
- kau tak mengenal lagi
apakah yang tergantung itu boneka atau bayi
Tak ada ejek-mengejek, tapi semua merasa tersindir
tak ada pekerjaan, tapi semua kelelahan, pusing
bahkan hampir pingsan, katanya karena pennyakit jantung
perut selalu lapar, meskpun hutang semakin menggunung
- Sepuluh tikus dalam kotak sabun
tak membayangkan bakal rukun
Di seberang kampung, di kota metropolitan dan bukan
harapan telah lama dibunuh oleh mimpi, lewat badai iklan
Harga diri telah terbeli, diantaranya secara resmi
adakah kau masih menulis puisi
pada saat seharusnya menyusui?
(Tonggak IV,1987)
Puisi “Sajak di Sembarang Kampung” memiliki tema tentang kritik sosial tentang kehidupan kumuh di kota metropolitan Jakarta. Bagi orang Solo yang baru sampai di Jakarta (saat itu) dan tinggal di perkampungan kumuh, penyair merasa tidak nyaman hidup di lingkungan tersebut, karena adanya berbagai persoalan (sosial dan ekonomi) seperti yang diungkapkan dalam larik-larik puisi tersebut. Adapun puisi yang bertema kedukaan karena kematian anaknya terdapat pada puisinya yang berjudul “Dari Jendela”.

3) F. Rahardi
Lahir di Ambarawa, 10 Juni 1950. Ciri-ciri puisi Rahardi yang membedakannya dengan penyair lain pada angkatan 80-an, terletak pada tipografi puisi yang tidak mengenal pembaitan dan jumlah baris, serta terjadinya penyimpangan ketatabahasaan yang berupa pemutusan kata pada beberapa puisinya. Ciri-ciri puisinya tersebut dapat dikatakan memiliki kesamaan dengan sajak “Tragedi Winka dan Sihka” karya Sutardji Calzoum Bachri (Angkatan 70-an). Berikut ditampilakan puisinya yang berjudul “Sajak Transmigran II”
Sajak Transmigran II
Dia selalu singkong                                                                                                                                                  dan terus menerus singkong                                                                                          hari ini singkong                                                                                                                                     tadi malam singkong                                                                                                              besok mungkin singkong                                                                               besoknya lagi juga singkong                                                                                                    di rumah sepotong singkong                                                                                                                               di ladang seikat singkong                                                                                                        di pasar segerobak singkong                                                                                    di rumah tetangga sepiring singkong                                                                                                               enam bulan lagi tetap sigkong                                                                                                setahun lagi tetap singkong                                                                                    sepuluh tahun masih singkong                                                                                                     dua puluh tahun makin singkong                                                                                                               dan lima puluh tahun kemudian                                                                                                                    transmigran beruban                                                                                                                          sakit-sakitan                                                                                                                                       mati                                                                                                                            lalu di kubur di ladang singkong
(Soempah WTS, 1983)
Sajak “Transmigran II” bertema kritik sosial. Penyair mengkritik pemerintah tentang kegagalan program transmigrasi di daerah miskin. Dengan bertransmigrasi, mereka (para transmigran) sebenarnya ingin terbebas dari kemikinan (dilambangkan dengan singkong). Ternyata di daerah tranmigrasi mereka tetap akrab dengan singkong alias kemiskinan.   
Selain itu, terdapat juga puisi “Doktorandus Tikus” karya Rahardi yang mengemukakan tema tentang kritik sosial dalam dunia pendidikan.                                                            


Doktorandus Tikus I
Selusin toga                                                                                                                                                              me                                                                                                                                                                   nga                                                                                                                                                                  nga                                                                          seratus tikus berkampus                                                                                                                                                                                    di atasnya                                                                                     dosen di jerat                                                                                                                   profesor diracun                                                                                                                                       kucing                                                                                                                                                      kawin                                                                                                                                                              dan bunting                                                                                                    dengan predikat                                                                                                                                       sangat memuaskan                                                                                                                                                           (Soempah,WTS, 1983)
Isi puisi tersebut bercerita tentang pencapaian gelar doktorandus dengan cara yang menyimpang, seratus tikus berkampus di atasnya. Pejabat perguruan tinggi dipandang penyair sebagai tikus-tikus (koruptor).
4)  Eka Budianta
Lahir di Ngimbang, Jawa Timur, 1 Februari 1956. Pernah kuliah di Jurusan Sastra Jepang dan Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra Universitas Indonesia (tidak tamat), juga jurusan jurnalistik pada sebuah college di Amerika Serikat.                                                                     Ciri-ciri puisi Eka Budianta ialah penggunaan bahasa yang lugas dan tegas pada setiap lariknya, serta memiliki susunan baris yang rapi pada tiap bait. Artinya, antara bait satu, dua, dan tiga memiliki jumlah baris yang sama. Ciri-cirinya dapat ditemukan pada buku kumpulan puisinya Sejuta Milyar Satu (1984).
Renungan Bapak Guru
Buat apa pendidikan, aku bertanya
Mengajarmu kenal yang agung, jawab gunung
Agar kau tahu kekekalan, kata langit
Bisa menikmati keindahan, tambah matahari 
Supaya tahu keburukan, seru hutan
Paham pada diri sendiri, siul burung
Dan bikin kau dinamis, bisik angin 

Apa manfaatnya bagiku, aku bertanya
Supaya pikiranmu jernih, ujar kolam
Dan jiwamu berseri, bujuk teratai
Aku tak paham juga meski begitu
Supaya kamu mencintai hidup, bentak pohon
Tahu kebebasan dan keterbatasan, nasihat bulan
Tak puas dengan semua penjelasan itu aku tidur
Esok harinya aku bangun dan tidak bertanya lagi
Tapi mengapa kau bangun? tanya jendela
Untuk apa kau hidup? desak udara
Mengapa kau termangu? hardik batu-batu
Kau ingin mati ya? ejek bunga-bunga
Bagaimana aku bisa menjawab mereka?
Bapak guru cuma bisa bertanya-tanya
(Sejuta Milyar Satu, 1984)
Di atas ditampilkan salah satu puisinya yang berjudul “Renungan Bapak Guru” yang bertema kritik sosial terhadap pendidikan. Dalam puisi ini penyair meragukan pendidikan seolah-olah tidak berguna karena ternyata orang-orang yang sudah memperoleh pendidikan belum tentu memahami kekuasaan Tuhan, kekekalan, keindahan, keburukan, dan memahami diri sendiri.

5) K.H.A. Mustofa Bisri
Pak Kiai yang juga penyair ini adalah pengasuh sebuah pondok pesantren di Rembang yang dipimpin oleh kakaknya, seorang ulama Nahdlatul Ulama yang terkenal, yaitu K.H. Cholil Bisri. Puisi-puisinya banyak memadukan sikap religiusitas dengan kritik sosial terhadap kepincangan kehidupan di negeri kita dan banyak mengangkat tema kehidupan manusia yang berusaha dikaitkan dengan segala sesuatu yang ada di alam ini. Salah satu sajak yang bertema kritik sosial, yaitu “Negeriku”. Sedangkan puisinya yang sangat kental dengan sikap religiusitas, terutama terhadap kaum perempuan dapat dilihat pada sajak berikut ini:
Ibu
Kaulah gua teduh
tempatku bertapa bersamamu
sekian lama
Kaulah kawah
darimana aku meluncur dengan perkasa
Kaulah bumi
yang tergelar lembut bagiku
melepas lelah dan nestapa
gunung yang menjaga mimpiku
siang dan malam
mata air yang tak brenti mengalir
membasahi dahagaku
telaga tempatku bermain
berenang dan menyelam

Kaulah, ibu, laut dan langit
yang menjaga lururs horisonku
Kaulah, ibu, mentari dan rembulan
yang mengawal perjalananku
mencari jejak sorga
di telapak kakimu

(Tuhan,
aku bersaksi
ibuku telah melaksanakan amanat-Mu
menyampaikan kasih sayangMu
maka kasihilah ibuku
seperti Kau mengasihi
kekasih-kekasihMu
Amin)
(Pahlawan dan Tikus, 1995)
Puisi di atas bertema cinta kasih kepada orang tua. Penyair menyadari (dan juga menyadarkan kita ) bahwa dari perut ibunyalah ia meluncur dengan perkasa dengan bantuan kawah atau rahim. Karean itu, penyair mengumpamakan ibunya sebagai bumi, laut, dan langit, serta mentari dan rembulan. Dikatakan sebagai bumi, karena ibu dinyatakan sebagai penuh kelembutan / pelepas dahaga dan nestapa / gunung yang menjaga mimpiku siang malam / mata air yang tak brenti mngalir / membasahi dahagaku / dan sebagai telaga tempatku bermain, berenang, dan menyelam (semua yang dianyatakan disini masih dalam kaitannya dengan bumi).







C.    KESIMPULAN
Puisi periode 1970-an dan 1980-an disebut juga dengan puisi kontemporer, yakni puisi yang muncul dengan bentuk dan gaya yang tidak mengikuti kaidah puisi pada umumnya, dan memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan puisi lainnya. Dalam puisi kontemporer, salah satu ciri yang penting adalah adanya eksplorasi sejumlah kemungkinan baru, antara lain berupa penyimpangan ketatabahasaan, seperti pemutusan suku kata. Selain itu, terdapat juga penggunaan idiom-idiom baru, bertipografi baru (tidak konvensional), dan banyaknya penggunaan kata dari bahasa daerah yang menunjukkan kedaerahaannya.                                                        
Adapun tema yang terlihat pada puisi angkatan 1970-an--1980-an, yakni : (a) protes sosial (Kesadaran bahwa aspek manusia merupakan subjek dan bukan obyek pembangunan), (b) religius (Banyak mengungkapkan kehidupan batin atau keagamaan), (c) perjuangan (Perjuangan hak-hak asasi manusia : kebebasan, persamaan, pemerataan, dan terhindar dari pencemaran teknologi modern),  dan (d) kritik sosial (kritik sosial terhadap pemimpin atau penguasa negara yang bertindak sewenang-wenang terhadap mereka yang lemah).













DAFTAR PUSTAKA
Rahmat Djoko Pradopo. 2007. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Waluyo, Herman J. 2003. Apresiasi Puisi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.


                                                    


Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "ANALISIS PUISI INDONESIA ANGKATAN 1970-1980"