Macam-Macam Cairan yang keluar dari Farji (Kemaluan) Wanita
Sebelum membaca artikel di bawah ini, saya share KUMPULAN BACAAN AL-QUR'AN LENGKAP. Semoga bermanfaat.
1.
Madzi: Cairan bening, tidak terlalu kental, tidak berbau,
keluarnya tidak memancar, setelah keluar tidak lemas, biasanya keluar sebelum
mani keluar. Cairan ini lebih banyak dimiliki kaum wanita daripada
laki-laki. Madzi keluar secara normal saat bercumbu dengan suami atau saat
membayangkan bersetubuh dengannya. Cairan ini
termasuk najis ringan (najis mukhaffafah), namun jika keluar, tidak menyebabkan
wajib mandi dan tidak membatalkan puasa.
2.
Wadi: Cairan bening, agak kental, keluar ketika kencing.
Dari ketiga cairan di atas, yang paling mudah dibedakan adalah wadi, karena
cairan ini hanya keluar ketika kencing, baik bersamaan dengan keluarnya air
kencing atau setelahnya. (Lihat Al-Wajiz fi Fiqh Sunnah, hlm.
24–25)
3.
Mani: Cairan yang keluar ketika syahwat mencapai puncak,
memiliki bau khas, disertai pancaran, setelah keluar menimbulkan lemas. Hukum
cairan ini tidak najis, menurut pendapat yang kuat, namun jika keluar bisa
menyebabkan hadats besar, sehingga bisa membatalkan puasa dan wajib mandi.
Banyak wanita yang tidak menyadari dirinya memiliki cairan mani layaknya
pria. Berikut ini sejumlah hadis yang menyebutkan tentang keberadaan mani
perempuan:
a. Dari Tsauban, budak Nabi shallallahu’alaihi wasallam beliau
berkata,
كُنْتُ قَائِمًا
عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَاءَ حِبْرٌ مِنْ
أَحْبَارِ الْيَهُودِ … قَالَ : جِئْتُ أَسْأَلُكَ عَنْ الْوَلَدِ ، قَالَ : (
مَاءُ الرَّجُلِ أَبْيَضُ ، وَمَاءُ الْمَرْأَةِ أَصْفَرُ ، فَإِذَا اجْتَمَعَا
فَعَلَا مَنِيُّ الرَّجُلِ مَنِيَّ الْمَرْأَةِ أَذْكَرَا بِإِذْنِ اللَّهِ ،
وَإِذَا عَلَا مَنِيُّ الْمَرْأَةِ مَنِيَّ الرَّجُلِ آنَثَا بِإِذْنِ اللَّهِ)
قَالَ الْيَهُودِيُّ : لَقَدْ صَدَقْتَ
“Suatu ketika
aku berdiri di sisi Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam kemudian datanglah
seorang pendeta Yahudi, lalu iapun berkata, ‘Aku datang untuk bertanya kepada
Anda tentang anak.’ Jawab Nabi shallallahu’alaihi wasallam, ‘Mani laki-laki
berwarna putih, mani perempuan berwarna kuning. Jika keduanya berkumpul lalu
mani laki-laki mengalahkan mani perempuan maka anak yang akan lahir adalah
laki-laki, dengan ijin Allah. Namun jika mani perempuan mengalahkan mani
laki-laki maka yang akan lahir adalah anak perempuan dengan ijin Allah.’ Lantas
pendeta Yahudi tadi berkata, ‘Anda benar.’” (HR.
Muslim no. 315)
b. Dari Ummu Sulaim bahwasanya beliau mendatangi Nabi shallallahu’alaihi
wasallam dan bertanya,
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah
tidak malu tentang kebenaran. Apakah wanita wajib mandi jika mimpi basah?
Beliau lantas menjawab, “Ya, jika ia melihat air mani.” (HR. Bukhari no. 282)
Dalam riwayat lain disebutkan, Bahwasanya
Ummu sulaim bertanya kepada Nabiyullah shallallahu’alaihi wasallam tentang wanita yang
bermimpi seperti halnya mimpinya
laki-laki (mimpi basah-pen). Maka Rasulullah shallallahu’alaihi
wasallam menjawab,
“Jika
wanita tersebut mimpi basah hendaknya ia mandi.” Ummu Sulaim berkata
(kepada perowi), “Sebenarnya aku malu menanyakan hal ini.” Ia kembali
bertanya, “Mungkinkah hal itu terjadi (pada wanita)?” Jawab Nabi
shallallahu’alaihi wasallam, “Ya. (jika tidak) dari mana penyerupaan
anak bisa mirip orangtuanya. Sesungguhnya air mani laki-laki itu kental putih.
Sementara air mani perempuan itu encer kuning. Manakah diantara keduanya yang
mengalahkan atau mendahului dari yang lain, darinyalah akan terjadi penyerupaan
(terhadap anaknya).” (HR. Muslim no.311)
Hadis diatas secara jelas menyebutkan bahwa wanita itu memiliki mani. Bahkan
wanita bisa mengalami mimpi basah seperti halnya laki-laki. An-Nawawi berkata
dalam Syarh Shahih Muslim,
وأما مني المرأة فهو أصفر رقيق وقد يَبْيضّ
لفَضْل قُوَّتها ، وله خاصيتان يعرف بواحدة منهما أحدهما أن رائحته كرائحة مني
الرجل والثانية التلذذ بخروجه وفتور قوتها عقب خروجه
“Mani perempuan berwarna kuning encer dan
terkadang menjadi putih karena sebab bertambah kekuatan (syahwat) wanita
tersebut. Mani wanita memiliki dua ciri khas yang diketahui dengan salah satu
dari keduanya; Pertama: Baunya seperti bau mani laki-laki. Kedua: Terasa
nikmat saat keluar dan setelah keluar terasa lemas syahwatnya.” (Al-Majmu’,
3:222)
Ringkasnya ciri air mani wanita adalah:
1) Keluar dengan syahwat dan terasa nikmat. Artinya seorang wanita merasakan
kelezatan saat mani keluar.
2) Terasa lemas setelah mani keluar.
3) Memiliki bau seperti mayang pohon kurma atau adonan tepung.
4) Warnanya kuning encer. Pada sebagian wanita warnanya putih.
4.
Keputihan,
Secara medis
keputihan disebut dengan “flour
Albus” yaitu semacam cairan yang keluar dari vagina wanita. Keputihan ini ada
dua jenis [1] normal (fisiologis) yaitu keluar keluar menjelang menstruasi atau
sesudah menstruasi ataupun masa subur, [2] keputihan penyakit (patologis) yang
disebabkan oleh infeksi (bakteri, virus atau jamur) disertai dengan rasa gatal
di dalam vagina dan di sekitar bibir vagina.
Ulama dahulu
membahas istilah “ruthubah” (رطوبة) yaitu lendir yang keluar
dari kemaluan wanita dan sekarang dikenal istilah “ifrazat” (إفرازات) yaitu keputihan. Para ulama menjelaskan hukum ifrazat/keputihan ini
sebagaimana hukum ruthubah/lendir yang keluar dari kemaluan wanita.
Terdapat
perbedaan pendapat ulama terkait pembahasan hal ini:
Pembahasan pertama: keputihan
tidak najis
Imam An-Nanawi menjelaskan mengenai ikhtilaf ulama dan merajihkan bahwa
keputihan adalah suci, beliau menjelaskan, “Keputihan yang keluar dari kemaluan wanita
yaitu cairan putih. Diperselisihkan sifatnya apakah disamakan dengan madzi dan
cairan kemaluan. Karennya ulama berbeda pendapat mengenai hukumnya…
Penulis kitab al-Hawi mengatakan, Imam as-Syafii menegaskan dalam sebagian
kitab-kitabnya bahwa keputihan wanita hukumnya adalah suci.”[1]
Demikian Al-Mawardi menjelaskan,
“Pendapat mengenai
keputihan/lendir dari kemaluan wanita ada dua pendapat salah satunya adalah
suci dan inilah yang shahih dalam mazhab kami secara mutlak.”[2]
Dalil sucinya keputihan adalah hadits ‘Aisyah yang mengerik sisa mani
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menempel pada baju, sedangkan
mani tersebut sudah bercampur dengan cairan lendir kemaluan wanita karena
keluar akibat berhubungan badan. Baju tersebut digunakan shalat dan sisa
kerikan tersebut masih menempel sisanya
Pembahasan kedua: Jika keluar tidak membatalkan wudhu
Pendapat jumhur ulama mengatakan bahwa ini membatalkan wudhu. Mereka
berdalil dengan hadits agar wanita yang istihadhah, yaitu keluar darah
terus-menerus agar berwudhu setiap kali akan shalat. Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-‘Utsaimin juga berpendapat membatalkan wudhu, akan tetapi jika keluar
terus-menerus, maka tidak membatalkan wudhu, beliau berkata,
فإنه ينقض الوضوء
وعليها تجديده، فإن كان مستمراً، فإنه لا ينقض الوضوء
“Keluarnya
keputihan membatalkan wudhu dan wajib baginya mengulangi wudhu, jika keluar
terus-menerus, maka tidak membatalkan wudhu.”[5]
Ini juga diperselihkan ulama, Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyyah memilih
pendapat yang tidak membatalkan wudhu.
Akan tetapi pendapat terkuat adalah tidak membatalkan wudhu dengan
beberapa alasan, sebagaimana dalam kitab “hukmu Ar-Ruthubah”[6], kami tuliskan rangkuman alasannya:
[1] Tidak ada dalil satupun baik shahih, hasan bahkan dhaif mengharuskan
berwudhu jika keluar keputihan
[2] keputihan adalah hal yang biasa terjadi pada wanita baik di zaman
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, suatu hal yang biasa tentu akan
ditanyakan oleh para sahabat wanita atau dijelaskan syariat
[3] Pembebanan harus wudhu setiap keluar keputihan akan
memberatkan bagi para wanita
[4] Allah menyebut haid adalah “kotoran” dalam Al-Quran dan lainnya
suci, maka hukum asalnya keputihan adalah suci
[5] Dalam hadits dijelaskan bahwa “flek” yang keluar setelah suci adalah
suci, maka apalagi sekedar keputihan yang tidak berkaitan dengan haid?
Jadi kesimpulannya: keputihan adalah suci dan keluarnya tidak
membatalkan wudhu
@Desa Pungka, Sumbawa Besar – Sabalong Samalewa
Penyusun: dr. Raehanul Bahraen
Artikel www.muslimafiyah.com
Ada tiga cairan yang keluar ketika syahwat seseorang
memuncak:
1. 2. 3. Sementara itu, yang agak
sulit dibedakan adalah madzi dan mani. Untuk memudahkan pembahasan terkait
dua cairan ini, masalah ini bisa dirinci pada dua keadaan: ketika sadar dan
ketika tidur.
Pertama, ketika sadar.
Cairan yang keluar dalam kondisi sadar, bisa
digolongkan termasuk jika memenuhi tiga syarat:
1. Keluarnya memancar, disertai syahwat memuncak, sebagaimana yang Allah sebutkan di surat Ath-Thariq, ayat 5–6.
2. Ada bau khas air mani
3. Terjadi futur (badan lamas) setelah cairan tersebut keluar. (Asy-Syarhul Mumti’, 1:167)
1. Keluarnya memancar, disertai syahwat memuncak, sebagaimana yang Allah sebutkan di surat Ath-Thariq, ayat 5–6.
2. Ada bau khas air mani
3. Terjadi futur (badan lamas) setelah cairan tersebut keluar. (Asy-Syarhul Mumti’, 1:167)
Jika cairan keluar ketika kondisi sadar dan tidak
disertai tiga sifat di atas maka cairan itu adalah madzi,
sehingga tidak wajib mandi. Misalnya, cairan tersebut keluar ketika sakit,
ketika kelelahan, atau cuaca yang sangat dingin.
Kedua, ketika tidur.
Orang yang bangun tidur, kemudian ada bagian yang
basah di pakaiannya, tidak lepas dari tiga keadaan:
1. Dia yakin bahwa itu adalah mani, baik dia ingat mimpi ataukah tidak. Dalam kondisi ini, dia diwajibkan untuk mandi, berdasarkan kesepakatan ulama. (Lihat Al-Mughni, 1:269)
2. Dia yakin bahwa itu bukan mani, karena yang menempel hanya tetesan cairan atau cairan berbau pesing, misalnya. Dalam kondisi ini, dia tidak wajib mandi. Namun, dia wajib mencuci bagian yang basah karena cairan ini dihukumi sebagaimana air kencing.
3. Dia ragu, apakah itu mani ataukah madzi. Dalam kondisi semacam ini, dia mengacu pada keadaan sebelum tidur atau ketika tidur. Jika dia ingat bahwa ketika tidur dia bermimpi, maka cairan itu dihukumi sebagai mani. Namun, jika dia tidak mengingatnya, dan sebelum tidur dia sempat membayangkan jima’ maka cairan itu dihukumi sebagai madzi karena cairan ini keluar ketika dia membayangkan jima’, sementara dia tidak merasakan keluarnya suatu cairan. (Asy-Syarhul Mumti’, 1:168)
1. Dia yakin bahwa itu adalah mani, baik dia ingat mimpi ataukah tidak. Dalam kondisi ini, dia diwajibkan untuk mandi, berdasarkan kesepakatan ulama. (Lihat Al-Mughni, 1:269)
2. Dia yakin bahwa itu bukan mani, karena yang menempel hanya tetesan cairan atau cairan berbau pesing, misalnya. Dalam kondisi ini, dia tidak wajib mandi. Namun, dia wajib mencuci bagian yang basah karena cairan ini dihukumi sebagaimana air kencing.
3. Dia ragu, apakah itu mani ataukah madzi. Dalam kondisi semacam ini, dia mengacu pada keadaan sebelum tidur atau ketika tidur. Jika dia ingat bahwa ketika tidur dia bermimpi, maka cairan itu dihukumi sebagai mani. Namun, jika dia tidak mengingatnya, dan sebelum tidur dia sempat membayangkan jima’ maka cairan itu dihukumi sebagai madzi karena cairan ini keluar ketika dia membayangkan jima’, sementara dia tidak merasakan keluarnya suatu cairan. (Asy-Syarhul Mumti’, 1:168)
Adapun jika dia tidak ingat mimpi dan tidak memikirkan
sesuatu sebelum tidur, ulama berselisih pendapat tentang hukumnya. Ada yang
berpendapat wajib mandi, sebagai bentuk kehati-hatian, dan ada yang berpendapat
tidak wajib mandi. Insya Allah, pendapat yang lebih kuat adalah wajib mandi,
berdasarkan hadis dari Aisyah radhiallahu ‘anha,
bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam ditanya tentang laki-laki yang tidak
ingat mimpi, namun tempat tidurnya basah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dia wajib mandi.”
(H.R. Abu Daud; dinilai hasan oleh
Al-Albani)
Allahu a’lam.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan
Pembina Konsultasi Syariah).
Artikel www.KonsultasiSyariah.com
Artikel www.KonsultasiSyariah.com
Keputihan (ifrazat) adalah lendir yang umumnya bening, keluar dari
organ reproduksi wanita, namun bukan madzi dan
mani. Baik karena syahwat maupun ketika
aktivitas normal. Baik yang bersifat normal maupun karena penyakit. Para ulama
menjelaskan hukum keputihan (ifrazat) sebagaimana ruthubah (lendir
yang selalu membasahi organ reproduksi wanita).
Ada dua kajian yang akan kita bahas untuk masalah
keputihan bagi wanita,
Kajian pertama tentang status cairan keputihan, apakah termasuk
benda najis ataukah bukan?
Kedua, apakah
keluar keputihan menyebabkan batalnya wudhu.
Di bagian ini, akan kita fokuskan untuk pembahasan,
apakah cairan keputihan termasuk najis ataukah suci.
Ulama berbeda pendapat apakah keputihan itu najis
ataukah suci,
Pertama, keputihan statusnya najis.
Ini pendapat Imam as-Syafii menurut salah satu
keterangan, as-Saerozi; ulama madzhab Syafiiyah, al-Qodhi Abu Ya’la; ulama
madzhab hambali, dan beberapa ulama lainnya.
Kedua, keputihan termasuk cairan suci.
Ini pendapat hanafiyah, pendapat imam as-Syafii
menurut keterangan yang lain, al-Baghawi, ar-Rafii; ulama madzhab Syafiiyah,
dan Ibnu Qudamah; ulama madzhab hambali.
Ibnu Qudamah – ulama madzhab hambali – menjelaskan,
وفي رطوبة فرج المرأة
احتمالان : أحدهما , أنه نجس ; لأنه في الفرج لا يخلق منه الولد , أشبه المذي .
والثاني : طهارته ; لأن عائشة كانت تفرك المني من ثوب رسول الله صلى الله عليه
وسلم وهو من جماع , فإنه ما احتلم نبي قط , وهو يلاقي رطوبة الفرج , ولأننا لو
حكمنا بنجاسة فرج المرأة , لحكمنا بنجاسة منيها ; لأنه يخرج من فرجها , فيتنجس
برطوبته . وقال القاضي : ما أصاب منه في حال الجماع فهو نجس ; لأنه لا يسلم من
المذي , وهو نجس . ولا يصح التعليل , فإن الشهوة إذا اشتدت خرج المني دون المذي ,
كحال الاحتلام
“Dalam permasalahan keputihan yang keluar dari organ
reproduksi wanita, ada dua pendapat,
[1] keputihan
statusnya najis karena berasal dari kemaluan yang bukan unsur terciptanya
seorang anak. Sebagaimana madzi.
[2] keputihan statusnya suci. Karena ‘Aisyah pernah
mengerik mani dari baju Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bekas jima’.
Mengingat tidak ada seorang nabi pun yang mengalami mimpi basah. Sehingga
makna air mani tersebut adalah cairan yang bercampur dengan cairan basah farji
istri beliau. Karena jika kita menghukumi keputihan sebagai benda najis,
seharusnya kita juga berpendapat najisnya mani wanita. Mengingat mani
wanita juga keluar dari kemaluannya, sehingga bisa menjadi najis karena ada keputihan
di leher rahim.
Sementara al-Qadhi Abu Ya’la berpendapat, semua yang
terkena cairan basah dari kemaluan ketika jima’ statusnya najis. Karena tidak
lepas dari madzi, sementara madzi hukumnya najis.
Ibnu Qudamah mengomentari, alasan al-Qodhi tidak
benar. Karena syahwat ketika memuncak, akan keluar mani tanpa madzi,
sebagaimana ketika mimpi basah.
(al-Mughni, 2/65).
Keterangan dari Imam an-Nawawi – ulama syafiiyah –,
رطوبة الفرج ماء أبيض
متردد بين المذي والعرق , فلهذا اختلف فيها ثم إن المصنف رحمه الله رجح هنا وفي
التنبيه النجاسة , ورجحه أيضا البندنيجي وقال البغوي والرافعي وغيرهما : الأصح :
الطهارة، وقال صاحب الحاوي في باب ما يوجب الغسل : نص الشافعي رحمه الله في بعض
كتبه على طهارة رطوبة الفرج
Keputihan yang keluar dari farji bentuknya cairan
putih. Diperselisihkan sifatnya, antara disamakan dengan madzi dan al-irq
(cairan kemaluan). Karena itu, ulama berbeda pendapat mengenai hukumnya.
Kemudian, penulis (as-Saerozi) dalam kitab al-Muhadzab ini dan kitab at-Tahbih,
keputihan hukumnya najis. Ini juga pendapat yang dipilih al-Bandaniji.
Sementara al-Baghawi dan ar-Rafii serta yang lainnya berpendapat bahwa yang
benar adalah suci.
Penulis kitab al-Hawi mengatakan, ‘Imam as-Syafii
menegaskan dalam sebagian kitab-kitabnya bahwa keputihan wanita statusnya
suci.’ (al-Majmu’, 2/570).
Antara Hadis Aisyah dan Hadis Utsman radhiyallahu ‘anhuma
Mengapa ini dikhususkan, karena dua hadis ini yang
menjadi titik tolak pembahasan.
Pertama,
hadis A’isyah radhiyallahu
‘anha, tentang air mani yang menempel di baju
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, kata A’isyah,
كُنْتُ أَفْرُكُهُ مِنْ
ثَوْبِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Aku mengerik mani itu dari baju Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (HR. Muslim 288, Nasai 296, dan yang lainnya).
Yang dipahami dari hadis ini (sebagaimana keterangan
Ibnu Qudamah di atas),
1. Mani yang ada di baju Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bekas hubungan badan, dan bukan mani
mimpi basah. Karena para nabi tidak mengalami mimpi basah.
2. Karena mani itu bekas dari hubungan badan, bisa
dipastikan cairan yang nempel di situ bercampur dengan cairan yang ada di farji
wanita.
3. A’isyah radhiyallahu ‘anha mengeriknya, dan yang namanya mengerik bisa
dipastikan tidak akan bersih sempurna.
Kedua, hadis
Ustman bin Affan
Dulu, orang yang melakukan hubungan badan, namun tidak
sampai keluar mani, tidak diwajibkan mandi junub. Namun cukup berwudhu.
Zaid bin Khalid pernah bertanya kepada Utsman bin
Affan, ‘Apa hukumnya orang yang berhubungan, tapi tidak keluar mani?’ jawab
Utsman,
يَتَوَضَّأُ كَمَا يَتَوَضَّأُ
لِلصَّلاَةِ وَيَغْسِلُ ذَكَرَهُ؛ قَالَ عُثْمَانُ سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Dia berwudhu dengan sempurna dan dia cuci
kemaluannya.” Kata Utsman, ‘Aku dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ (HR. Bukhari 179 dan Muslim 347).
Yang dipahami dari hadis ini,
1. Orang yang berhubungan dan tidak orgasme, dia tidak
wajib mandi, tapi cukup wudhu. Dan hukum ini telah dinasakh (dihapus) dengan
hadis Abu Hurairah yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim
2. Adanya perintah mencuci kemaluan sehabis hubungan
meskipun tidak keluar mani. Artinya itu perintah membersihkan cairan yang
menempel di kemaluan karena hubungan badan.
3. Perintah mencuci kemaluan di situ tidak mansukh,
hukumnya tetap berlaku.
Ulama yang berpendapat bahwa keputihan tidak najis,
mereka berdalil dengan hadis A’isyah radhiyallahu ‘anha. Sementara ulama yang
menilai najis berdalil dengan hadis Utsman. Dan jika kita perhatikan,
masing-masing dalil tidaklah tegas menunjukkan demikian. Karena masing-masing
pendapat menyimpulkan hadis di atas berdasarkan makna, yang tidak tercantum
dalam teksnya.
Kemudian, Syaikh Musthofa al-Adawi – dai dari Mesir –,
setelah membawakan perselisihan pendapat ulama dalam masalah ini, beliau
mengatakan,
وبإمعان النظر فيما سبق؛
يتضح أنه لم يرد دليل صريح على أن رطوبة فرج المرأة نجسة. وأما ما أورده البخاري
من حديث وفيه: يتوضأ كما يتوضأ للصلاة ويغسل ذكره؛ فليس بصريح في أن غسل الذكر
إنما هو من رطوبة فرج المرأة، ولكن محتمل أن يكون للمذي الذي خرج منه كما أمر
النبي صلى الله عليه وسلم المقداد لما سأله عن المذي؛ فقال: توضأ واغسل ذكرك
Dengan melihat lebih mendalam terhadap keterangan di
atas, dapat disimpulkan bahwa tidak ada dalil tegas yang menunjukkan bahwa
keputihan wanita hukumnya najis. Sementara hadis yang dibawakan Bukhari, yang
ada pernyataan, “Dia harus berwudhu sempurna dan mencuci kemaluannya..”
tidaklah menunjukkan dengan tegas bahwa mencuci kemaluan dalam kasus itu,
disebabkan keputihan wanita. Namun bisa juga dipahami karena madzi. Sebagaimana
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkan al-Miqdad ketika dia
bertanya tentang madzi, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Dia harus
berwudhu dan mencuci kemaluannya.’
Kemudian beliau menyimpulkan,
فعلى ذلك تبقى رطوبة فرج
المرأة على الطهارة
Oleh karena itu, keputihan yang ada di organ
reproduksi wanita, statusnya suci. (Jami’ Ahkam an-Nisa, 1/66).
Disamping itu, cairan keputihan yang keluar dari organ
reproduksi wanita, adalah hal yang wajar terjadi di masa silam. Meskipun
demikian, kita tidak menjumpai adanya riwayat dari para sahabat wanita
(shahabiyat) yang menanyakan hal itu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Padahal umumnya mereka hanya memiliki satu pakaian. Jika ini najis, tentu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan mengingatkannya.
Sehingga kembali ke hukum asal, bahwa segala sesuatu
hukum asalnya adalah suci.
Allahu a’lam.
Dijawab oleh: Ustadz Ammi Nur
Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)
Apa yang keluar dari wanita terkadang mani atau madzi atau cairan biasa.
Yang dikenal dengan keputihan. Setiap dari tiga macam ini mempunyai sifat dan
hukum khusus.
Adapun mani, sifatnya adalah :
Kuning lembut, sifat ini sebagaimana yang telah ada
dari Nabi sallallahu’alaihi wa sallam: “Sesungguhnya air mani laki-laki itu
putih kental dan mani wanita itu kuning lembut.” (HR. Muslim, no. 311)
Terkadang pada sebagian wanita warnanya putih. Baunya seperti bau pandan korma,
dan bau pandan korma dekat dengan bau adonan tepung. Merasakan nikmat dan
melemahnya syahwat setelah keluar.
Tidak disyaratkan ketiga sifat ini harus ada semuanya. Cukup satu sifat
saja untuk mengukumi bahwa cairan itu adalah mani. Demikian, sebagaimana dikatakan
oleh Imam Nawawi rahimahullah dalam Kitab Al-Majmu, 2/141.
Adapun mazi adalah air putih encer dan lengket yang keluar ketika muncul
syahwat baik karena fikiran atau lainnya. Tidak merasakan nikmat ketika keluar
dan tidak disertai melemahnya syahwat setelahnya.
Sementara keputihan adalah cairan bening yang keluar dari rahim, terkadang
seorang wanita tidak merasakan keluarnya. Sedikit banyaknya cairan yang keluar,
berbeda di antara para wanita.
Berikut perbedaan hukum pada tiga cairan ini (mani, madzi dan keputihan);
Mani tidak diharuskan mencuci pakaian darinya, namun diharuskan mandi
(besar) setelah keluar. Baik keluarnya ketika tidur maupun terjaga, karena
berhubungan badan atau lainnya.
Mazi adalah najis. Diharuskan membersihan jika mengenai badan. Adapun jika
mengenai pakaian, untuk mensucikannya cukup dengan memercikkan air
padanya. Keluar mazi membatalkan wudu dan tidak diharuskan mandi (besar)
setelah keluar.
Adapun keputihan adalah suci. Tidak diharuskan mandi dan tidak juga
(diharuskan) membersihkan pakaian yang terkena. Ia membatalkan wudu kecuali
kalau (keluar) terus menerus dari seorang wanita. Dia harus berwudu pada
setiap shalat setelah masuk waktunya, dan jika setelah itu cairan tetap keluar
tidak mengapa.
Alhamdulillah, beda antara madzi dengan mani adalah
sebagai berikut:
1-Bentuk dan sifatnya.
Mani lelaki berbentuk cairan pekat berwarna putih, adapun mani wanita encer berwarna kuning. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Ummu Sulaim Radhiyallahu 'Anha bahwa ia bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam tentang seorang wanita yang bermimpi dalam tidur sebagaimana yang dialami kaum pria (mimpi basah).
Mani lelaki berbentuk cairan pekat berwarna putih, adapun mani wanita encer berwarna kuning. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Ummu Sulaim Radhiyallahu 'Anha bahwa ia bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam tentang seorang wanita yang bermimpi dalam tidur sebagaimana yang dialami kaum pria (mimpi basah).
Rasul bersabda: "Jika ia melihat keluarnya mani maka wajib
mandi."
Dengan malu-malu Ummu Sulaim Radhiyallahu 'Anha bertanya: "Apakah seorang wanita juga mengalaminya (mimpi basah)?"
Rasul menjawab: "Kalau begitu bagaimana mungkin seorang anak bisa mirip ibunya? Sesungguhnya mani pria itu pekat berwarna putih dan mani wanita encer berwarna kuning, siapa saja di antara keduanya yang lebih awal atau lebih dominan maka kemiripan akan condong kepadanya."
Muttafaqun 'Alaihi (Shahih Muslim No:469)
Dalam Syarah Shahih Muslim (III/222), berkaitan dengan sabda nabi: Mani pria pekat berwarna putih, mani wanita encer berwarna kuning, Imam An-Nawawi berkata:
"Hadits ini merupakan kaidah yang sangat mulia dalam menjelaskan bentuk dan sifat mani. Itulah sifatnya dalam keadaan biasa dan normal. Alim ulama berkata: "Dalam keadaan sehat mani lelaki itu berwarna putih pekat memancar sedikit demi sedikit saat keluar. Biasa keluar bila dibarengi dengan syahwat dan sangat nikmat saat keluarnya. Setelah keluar ia akan merasakan lemas dan akan mencium bau seperti bau mayang kurma, yaitu seperti bau adonan tepung. Warna mani bisa berubah disebabkan beberapa hal di antaranya: saat sedang sakit, maninya akan berubah encer dan kuning, atau kantung testis melemah sehingga mani keluar tanpa dipacu oleh syahwat, atau karena terlalu sering bersenggama sehingga warna mani berubah merah seperti air perasan daging dan kadangkala yang keluar adalah darah.
Dengan malu-malu Ummu Sulaim Radhiyallahu 'Anha bertanya: "Apakah seorang wanita juga mengalaminya (mimpi basah)?"
Rasul menjawab: "Kalau begitu bagaimana mungkin seorang anak bisa mirip ibunya? Sesungguhnya mani pria itu pekat berwarna putih dan mani wanita encer berwarna kuning, siapa saja di antara keduanya yang lebih awal atau lebih dominan maka kemiripan akan condong kepadanya."
Muttafaqun 'Alaihi (Shahih Muslim No:469)
Dalam Syarah Shahih Muslim (III/222), berkaitan dengan sabda nabi: Mani pria pekat berwarna putih, mani wanita encer berwarna kuning, Imam An-Nawawi berkata:
"Hadits ini merupakan kaidah yang sangat mulia dalam menjelaskan bentuk dan sifat mani. Itulah sifatnya dalam keadaan biasa dan normal. Alim ulama berkata: "Dalam keadaan sehat mani lelaki itu berwarna putih pekat memancar sedikit demi sedikit saat keluar. Biasa keluar bila dibarengi dengan syahwat dan sangat nikmat saat keluarnya. Setelah keluar ia akan merasakan lemas dan akan mencium bau seperti bau mayang kurma, yaitu seperti bau adonan tepung. Warna mani bisa berubah disebabkan beberapa hal di antaranya: saat sedang sakit, maninya akan berubah encer dan kuning, atau kantung testis melemah sehingga mani keluar tanpa dipacu oleh syahwat, atau karena terlalu sering bersenggama sehingga warna mani berubah merah seperti air perasan daging dan kadangkala yang keluar adalah darah.
Beberapa karakteristik yang dijadikan patokan dalam mengenal mani
adalah:
1-Memancar akibat dorongan syahwat disertai rasa lemah setelahnya.
2-Baunya seperti bau mayang kurma sebagaimana yang telah dijelaskan.
3-Keluarnya dengan memancar sedikit demi sedikit.
2-Baunya seperti bau mayang kurma sebagaimana yang telah dijelaskan.
3-Keluarnya dengan memancar sedikit demi sedikit.
Salah satu dari ketiga karakteristik tersebut cukup untuk menentukan apakah
yang keluar itu mani ataukah bukan. Jika tidak ditemukan salah satu dari ketiga
karakter di atas maka tidak boleh dihukumi sebagai mani karena dengan begitu
hampir bisa dipastikan bahwa ia bukan mani. Ini berkaitan dengan mani pria.
Adapun mani wanita warnanya kuning dan encer. Kadangkala warnanya putih bila
kekuatannya melebihi kadar rata-rata.
Ada dua karakteristik yang jadi patokan dalam menentukan mani wanita.
1-Baunya seperti bau mani pria.
2-Nikmat saat mengeluarkannya dan merasakan lemah setelah itu.
1-Baunya seperti bau mani pria.
2-Nikmat saat mengeluarkannya dan merasakan lemah setelah itu.
Adapun madzi, hanyalah cairan lekat berwarna putih. Biasanya keluar
disebabkan mengkhayalkan hubungan intim atau terlintas keinginan berhubungan
intim. Umumnya keluar tanpa dorongan syahwat, tidak memancar dan tidak disertai
rasa lemah setelah mengeluarkannya. Keluarnya madzi biasanya dialami kaum
wanita dan kaum pria, namun dalam hal ini kaum wanita lebih sering
mengalaminya."
Silakan lihat Syarah Shahih Muslim karangan Imam An-Nawawi III/213.
Silakan lihat Syarah Shahih Muslim karangan Imam An-Nawawi III/213.
2-Konseksuensi hukum yang timbul karena mengeluarkan mani atau madzi.
Orang yang mengeluarkan mani diwajibkan mandi janabah, baik maninya keluar saat sadar sebab bersenggama atau sebab lainnya ataupun saat tidur (mimpi basah). Adapun orang yang mengeluarkan madzi cukup berwudhu' saja.
Orang yang mengeluarkan mani diwajibkan mandi janabah, baik maninya keluar saat sadar sebab bersenggama atau sebab lainnya ataupun saat tidur (mimpi basah). Adapun orang yang mengeluarkan madzi cukup berwudhu' saja.
Dalilnya riwayat Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'Anhu ia berkata:
"Saya adalah seorang pria yang sering mengeluarkan madzi. Sayapun menyuruh Miqdad untuk menanyakan hal itu kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Rasulullah berkata: "Cukup berwudhu' saja!"
Muttafaqun 'alaihi, matan di atas adalah riwayat Al-Bukhari.
"Saya adalah seorang pria yang sering mengeluarkan madzi. Sayapun menyuruh Miqdad untuk menanyakan hal itu kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Rasulullah berkata: "Cukup berwudhu' saja!"
Muttafaqun 'alaihi, matan di atas adalah riwayat Al-Bukhari.
Dalam kitab Al-Mughni (I/168) Ibnu Qudamah berkata:
"Ibnul Mundzir mengatakan: Ahli ilmu sepakat bahwa keluarnya kotoran dari dubur, keluarnya air seni dari kemaluan, keluarnya madzi dan keluarnya angin dari dubur menyebabkan hadast serta membatalkan wudhu'.
"Ibnul Mundzir mengatakan: Ahli ilmu sepakat bahwa keluarnya kotoran dari dubur, keluarnya air seni dari kemaluan, keluarnya madzi dan keluarnya angin dari dubur menyebabkan hadast serta membatalkan wudhu'.
3-Konsekuensi hukum berkenaan dengan status thaharah dan status
kenajisannya.
Menurut pendapat ulama yang terpilih mani statusnya suci.
Menurut pendapat ulama yang terpilih mani statusnya suci.
Dalilnya adalah riwayat 'Aisyah Radhiyallahu 'Anha ia berkata:
"Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam biasanya mencuci pakaiannya
yang terkena mani baru kemudian berangkat menuju shalat dengan mengenakan pakaian
tersebut sementara aku masih bisa melihat bekas bilasan pada pakaian
tersebut."
Muttafaqun 'alaihi.
Muttafaqun 'alaihi.
Dalam riwayat Muslim disebutkan:
"Aku pernah mengerik bekas mani yang tersisa pada pakaian Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam lalu beliau kenakan untuk shalat."
Dalam lafal lain berbunyi:
"Aku pernah mengerik mani yang mengering pada pakaian beliau dengan
kuku."
Bahkan diriwayatkan secara shahih bahwa beliau membiarkannya saja mani yang
masih basah (belum mengering). Cukup beliau mengusapnya dengan batang kayu atau
sejenisnya. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat Ahmad (VI/243).
Diriwayatkan dari 'Aisyah Radhiyallahu 'Anha bahwa ia berkata:
Diriwayatkan dari 'Aisyah Radhiyallahu 'Anha bahwa ia berkata:
"Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah menghilangkan bekas
mani pada pakaiannya dengan kayu idzkhir kemudian mengerjakan shalat dengan
mengenakannya. Bila mani itu mengering beliau gosok kemudian mengerjakan shalat
dengan mengenakannya."
(H.R Ibnu Khuzaimah dalam kitab Shahih beliau dan dinyatakan hasan oleh Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa' I/197)
(H.R Ibnu Khuzaimah dalam kitab Shahih beliau dan dinyatakan hasan oleh Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa' I/197)
Adapun madzi statusnya najis berdasarkan hadits Ali Radhiyallahu 'Anhu di
atas tadi.
Dalam sebagian riwayat disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa
Sallam memerintahkan beliau untuk mencuci zakar dan biji pelir lalu berwudhu'.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Abu 'Awanah dalam Al-Mushtakhrij.
Dalam kitab At-Talkhis Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata:
"Sanadnya bersih tidak ada cacatnya. Oleh sebab itu, madzi statusnya najis wajib mencuci zakar dan buah pelir karena mengeluarknnya serta membatalkan wudhu'."
"Sanadnya bersih tidak ada cacatnya. Oleh sebab itu, madzi statusnya najis wajib mencuci zakar dan buah pelir karena mengeluarknnya serta membatalkan wudhu'."
Status pakaian yang terkena mani dan madzi.
Menurut pendapat ulama yang menyatakan mani itu suci maka pakaian yang terkena mani tidaklah najis.
Menurut pendapat ulama yang menyatakan mani itu suci maka pakaian yang terkena mani tidaklah najis.
Seseorang boleh mengerjakan shalat dengan menggunakan pakaian
tersebut.
Dalam kitab Al-Mughni (I/763) Ibnu Qudamah berkata:
"Dianjurkan agar mengerik mani yang melekat pada pakaian meskipun kita telah menyatakan bahwa mani itu suci. Namun tetap sah shalat dengan mengenakan pakaian yang terkena mani sekalipun belum dikerik."
Adapun madzi, maka cukuplah dengan memercikkan air pada pakaian yang terkena, karena sangat menyulitkan bila harus dicuci.
"Dianjurkan agar mengerik mani yang melekat pada pakaian meskipun kita telah menyatakan bahwa mani itu suci. Namun tetap sah shalat dengan mengenakan pakaian yang terkena mani sekalipun belum dikerik."
Adapun madzi, maka cukuplah dengan memercikkan air pada pakaian yang terkena, karena sangat menyulitkan bila harus dicuci.
Dalilnya adalah riwayat Abu Dawud dalam Sunannya dari Sahal bin Hanif
Radhiyallahu 'Anhu bahwa ia berkata:
"Saya merasakan kesulitan yang sangat disebabkan sering mengeluarkan madzi sehingga saya berulangkali mandi. Lalu saya tanyakan hal tersebut kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Beliau menjawab: "Cukup bagimu berwudhu'!"
"Wahai Rasulullah, bagaimana dengan pakaian yang terkena madzi?" tanyaku lagi.
"Cukup engkau ambil seciduk air lalu percikkan tempat yang diyakini terkena madzi" jawab beliau.
H.R At-Tirmidzi, ia berkata: Hadits ini hasan shahih, kami tidak mengetahui hadits tentang madzi dari Muhammad bin Ishaq kecuali riwayat ini.
Penulis kitab Tuhfatul Ahwadzi (I/373) berkata:
"Hadits di atas merupakan dalil bahwa bila madzi mengenai pakaian maka cukup dipercikkan air pada bagian yang terkena dan tidak perlu dicuci. Wallahu a'lam.
"Saya merasakan kesulitan yang sangat disebabkan sering mengeluarkan madzi sehingga saya berulangkali mandi. Lalu saya tanyakan hal tersebut kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Beliau menjawab: "Cukup bagimu berwudhu'!"
"Wahai Rasulullah, bagaimana dengan pakaian yang terkena madzi?" tanyaku lagi.
"Cukup engkau ambil seciduk air lalu percikkan tempat yang diyakini terkena madzi" jawab beliau.
H.R At-Tirmidzi, ia berkata: Hadits ini hasan shahih, kami tidak mengetahui hadits tentang madzi dari Muhammad bin Ishaq kecuali riwayat ini.
Penulis kitab Tuhfatul Ahwadzi (I/373) berkata:
"Hadits di atas merupakan dalil bahwa bila madzi mengenai pakaian maka cukup dipercikkan air pada bagian yang terkena dan tidak perlu dicuci. Wallahu a'lam.
mani wanita berbeda dengan laki-laki,
seperti yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:“mani laki-laki itu
kental dan berwarna putih sedangkan mani wanita tipis/
halus dan berwarna kuning. ” (shahih, hr. Muslim no. 310, 315).
air mani wanita umumnya berwarna kuning encer atau putih encer yang mepunyai tiga ciri (sebagaimana tiga ciri ini juga menjadi ciri air mani lelaki):
air mani wanita umumnya berwarna kuning encer atau putih encer yang mepunyai tiga ciri (sebagaimana tiga ciri ini juga menjadi ciri air mani lelaki):
- keluarnya disertai syahwat yang disusul perasaan
letih/lesu sesudahnya
- keluar dengan cara
memancar/menyembur/menyemprot
- berbau khas seperti bau mayang kurma dalam
kondisi basah, atau berbau seperti bau telur dalam kondisi kering.
air mani laki-laki berwarna putih kental sementara air mani wanita berwarna kuning atau putih encer. Penyemburan air mani lelaki yang terjadi mirip denyutan yang semakin melemah dalam istilah zaman kini dinamakan ejsayalasi, sementara penyemburan air mani wanita dikenal dengan istilah squirting. .
Belum ada tanggapan untuk "Macam-Macam Cairan yang keluar dari Farji (Kemaluan) Wanita"
Post a Comment