Kisah ketaatan dan ketegaran Siti Hajar
Sebelum membaca artikel di bawah ini, saya share KUMPULAN BACAAN AL-QUR'AN LENGKAP. Semoga bermanfaat.
Firman Allah : Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari
syi’ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber’umrah,
maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. Dan barangsiapa
yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah
Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui. (Al Baqarah : 158)
Nabi Ibrahim AS dan Siti Sarah sudah lama berumah tangga, namun mereka
tidak juga dikaruniakan buah hati. Siti Sarah mengharapkan supaya Nabi Ibrahim
menikah kembali. Siti Sarah merestui Siti Hajar menjadi istri suaminya.
Pada mulanya, Nabi Ibrahim keberatan untuk menikah kembali dengan wanita lain.
Namun, Siti Sarah bersikeras dan akhirnya Nabi Ibrahim setuju untuk
memperistrikan Siti Hajar.
Pernikahan yang dilakukan Nabi Ibrahim As dan Siti Hajar telah membuahkan
buah hati dalam rahim Siti Hajar. Nabi Ibrahim sangat gembira dengan kabar
tersebut. Ia mengharapkan Siti Sarah turut merasakan kegembiraan atas kehamilan
Siti Hajar. Namun, berita kehamilan itu Justru membuatkan Siti Sarah tidak
senang.
Kian hari rasa cemburunya kian menebal, terutama selepas kelahiran Ismail,
hingga Siti Sarah mengadukan kepada suaminya bahwa ia tak ingin lagi melihat
Siti Hajar dan anaknya. Ia menyuruh Nabi Ibrahim untuk membawa Siti Hajar dan
anaknya pergi jauh, hingga ia tak kan bertemu lagi dengan Siti Hajar.
Nabi Ibrahim As dan Siti Hajar serta anak mereka lantas menuju ke Baitul
Haram. Nabi Ibrahim membawa istrinya Hajar dan anak Isma’il menuju suatu lembah
yang tidak ada rumput yang tumbuh sekalipun dan hanya meninggalkan air (dalam
sebuah riwayat, airnya pun tinggal sedikit).
Setelah Nabi Ibrahim As menempatkan anak dan istrinya itu kemudian beliau
berbalik badan untuk kembali lagi ke daerah asalnya. Nabi Ibrahim As bergegas
pulang dengan menitihkan air mata namun beliau tidak menoleh ke belakang
walaupun istrinya Hajar berkali-kali memanggil beliau. Nabi Ibrahim tidak
memperdulikan panggilan dari isterinya dan tetap melanjutkan langkahnya yang
berat.
Siti Hajar mengejar suaminya dan berkata, ”Apakah Allah yang memerintahkan
kepadamu untuk melakukan ini?” Ibrahim menjawab pendek, ”Benar.” Maka keluarlah
suatu pernyataan dari Siti Hajar yang melukiskan ketegaran dan ketawakalan jiwa
beliau. ”Kalau Allah yang memerintakan demikian ini, niscaya Dia tidak akan
menyia-nyiakan kami.”
Siti Hajar adalah lambang wanita sejati yang taat kepada suami dan perintah
Allah. Segala kesukaran, kepahitan, keresahan yang ditempuh Siti Hajar bersama
anak kecilnya, Ismail ketika ditinggalkan Nabi Ibrahim di tengah-tengah padang
pasir kering kerontang, adalah lambang kesetiaan dan kepatuhan seorang isteri
kepada peraturan suaminya.
Setelah Ibrahim suaminya tercinta berlalu dari pandangannya, Siti Hajar
meletakan buah hatinya Isma’il pada tanah pasir, kemudian beliau melihat ke
sekelilingnya berharap bertemu dengan suatu kafilah yang lewat yang hendak
diminta pertolongannya.
Siti Hajar lalu pergi ke suatu bukit, yakni bukit Shafa. Setelah sampai di
bukit,beliau melihat ke sekelilingnya dengan harapan ada orang atau kafilah
yang lewat yang ia bisa mintakan pertolongannya. Beliau merasakan tidak adanya
tanda-tanda orang atau kafilah yang lewat.
Kemudian beliau turun menuju bukit yang satunya, ketika lewat di depan
anaknya Isma’il beliau berjalan agak cepat dan meneruskan jalannya menuju bukit
satunya lagi yakni bukit Marwah. Lagi-lagi beliau melihat ke sekelilingnya di
atas bukit Marwah itu. Hajar merasakan tidak adanya tanda-tanda orang atau
kafilah yang lewat begitu pula dengan tanda-tanda kehidupan.
Perbekalan yang cuma air itu pun sudah hampir habis, demikian pula air
susunya pun tidak keluar, beliau sangat panik dan khawatir. Siti Hajar kemudian
turun dari bukit Marwah kembali lagi menuju bukit Shafa dengan maksud yang
sama. Bingung, gelisah jiwa Hajar saat itu, tidak ada orang yang bisa ia minta
bantuannya. Dan lagi sang buah hatinya Isma’il kelihatan sangat kehausan begitu
pula dengan dirinya, beliau bertambah panik dan khawatir.
Beliau berlari lagi menuju bukit Shafa berharap semoga bertemu dengan
seseorang atau suatu kafilah, merasa tidak menemukan apa-apa kemudian beliau
lari lagi menuju bukit Marwah dan seterusnya begitu sebanyak tujuh kali.
Di tengah-tengah kekalutan dan kebingungannya, (dalam suatu riwayat)
muncullah mata air yang letaknya dekat dengan Isma’il. (Dalam beberapa riwayat
kemunculan air adalah ketika Ismail menghentak-hentakan kakinya) Melihat hal
itu Hajar segera bergegas menuju mata air tersebut dan berkata. ”Zum, zum!”
yang artinya ‘berkumpullah’. Hajar kemudian minum dari mata air yang diberkahi
dan memberikan pula kepada anaknya Isma’il minum dari air tersebut, Hajar
sangat bersyukur sekali atas karunia dari Allah subhanahu wa ta’alla tersebut.
Pertolongan Allah ‘azza wa jalla tidak berhenti sampai di situ saja, selang
tidak seberapa lama munculah suatu kafilah yang berjalan menuju tempat Hajar
beserta anaknya. Kafilah itu meminta izin kepada Hajar untuk mengambil air
Zam-zam itu dan mereka pun bermaksud untuk tinggal bersama dengan Hajar. Hajar
tentu saja sangat senang dan menyambut gembira tawaran baik tersebut, beliau
akhirnya tidak sendirian lagi.
Inilah gambaran seorang wanita muslim yang selalu taat kepada Allah. Ia
percaya bahwa Allah tidak akan menguji hambanya di luar batas kemampuannya.
Maka dari itu ia selalu taat dengan apa yang diperintahkan-Nya. Keyakinan
bahwa, jika ia berhasil melewati ujian itu dengan baik, maka Allah akan
memberikan balasan yang sepadan dengan apa yang telah ia jalankan bahkan
mungkin lebih dari itu.
Dari teladan siti Hajar ini yang berlari dari Safa dan Marwa telah
menjadikan itu sebagai rukun haji yang tidak dapat ditinggalkan yang harus
ditunaikan setiap jamaah haji yang disebut Sa’i.
Belum ada tanggapan untuk "Kisah Ketaatan dan Ketegaran Siti Hajar"
Post a Comment