ESAI BIOGRAFI : PRAMOEDYA ANANTA TOER



ESAI BIOGRAFI :
PRAMOEDYA ANANTA TOER

 http://primaananta.blogspot.co.id/2011/07/pramoedya-ananta-toer-80-tahun-berlomba.html

Pramoedya Ananta Toer lahir di Blora, 6 Februari 1925, merupakan anak sulung dari sebuah keluarga bertradisi Islam dan nasionalis. Ayahnya, Pak Mastoer adalah seorang guru HIS (Holandsch Islandsche School) kemudian pindah dan mengajar di sekolah swasta IBO (Institut Boedi Oetomo)[1]. Aktivitas Pak Mastoer sendiri, antara lain aktif berpolitik dengan menjadi anggota Partai Nasional Indonesia (PNI) pimpinan Soekarno, selain itu juga sebagai seorang aktivis pendidikan yang banyak mendirikan kursus-kursus kejuruan tinggi bagi pribumi serta menerbitkan buku-buku perjuangan dan pelajaran melalui IBO.Perannya (Pak Mastoer) sebagai tokoh pergerakan cukup dikenal oleh masyarakat sekitar Blora pada waktu itu. Atas dasar latar belakang itu, Pramoedya mulai mengenyam pendidikan SD di sekolah IBO yang diemban oleh ayahnya.
Ketika bersekolah di IBO, Pramodya menemukan buku Minggat dari Digul yang berisi foto-foto penduduk Digul dengan keterangan foto yang ditulis menggunakan bahasa Melayu[2].Semenjak itu pesona Digul menempati pojok khusus dalam hidup Pramoedya, terutama ketika rumahnya dijadikan pusat kegiatan himpunan dana PPPKI untuk penduduk Digul[3]. Karena krisis ekonomi dan tekanan dari pemerintah kolonial Belanda terhadap sekolah-sekolah liar, mengakibatkan IBO ditinggalkan murid-muridnya yang tak sanggup lagi membayar atau merasa bahwa IBO tak menjanjikan masa depan mereka karena tak diakui pemerintah. Hal ini membuat Pak Mastoer kembali menjadi guru HIS. Pramoedya yang mengetahui tindakan ayahnya itu merasa sangat kecewa, Pramoedya menganggap sang ayah telah berkapitulasi dengan kekuasaan kolonial Belanda (meskipun ia coba memahami hal tersebut dan mengingat kondisi yang ada ketika itu).
Selain ayahnya, orang yang paling berpengaruh dalam kehidupan masa kecil Pramoedya tentulah seorang perempuan yang merupakan ibunya, bernama Oemi Saidah, seorang aktivis perempuan. Ibu Oemi merupakan anak dari seorang selir penghulu Rembang, yang setelah melahirkan Oemi, lalu diceraikan dan diusir dari kediaman sang penghulu karena alasan khusus. Kisah hidup neneknya inilah yang menjadi inspirasi bagi Pramoedya untuk menulis roman berjudul Gadis Pantai, sebuah roman yang berusaha membongkar ketidakadilan kekuasaan priyayi dalam masyarakat tradisional Jawa, terutama kesewenang-wenangan umum lelaki terhadap perempuan. Sifat ibu Pramoedya yang lembut hati, keras, tegas, dan penuh kasih sayang inilah yang menjadikannya ukuran olehnya dalam menilai perempuan yang ditemuinya, serta dalam dunia kepenulisan tak lepas olehnya dijadikan inspirasi karya Pramoedya yang selanjutnya berjudul Yang Sudah Hilang dan Kemudian Lahirlah Dia yang semuanya termuat dalam kumpulan cerita pendek Tjerita dari Blora.Atas biaya ibunya, akhirnya Pramoedya meneruskan pendidikan kejuruan di Radio Vakschool,Surabaya. Namun, pecahnya Perang Dunia II pada tahun 1942 membuat ijazah sekolah itu tak pernah sampai di tangan Pramoedya[4].
Tentara Jepang mulai mendarat di pantai utara Jawa, dan sampai di daerah Blora pada 2 Maret 1942. Di awal masa penjajahan itulah Pramoedya menemui kenyataan yang pahit, bahwa ibunya meninggal dunia pada 3 Juni 1942 akibat penyakit TBC. Kepergian sang ibu sangat mengguncang hati Pramoedya muda. Kepergian ini merupakan babak baru dalam perjalanan hidup Pramoedya selanjutnya. Ia tinggalkan Blora menuju Jakarta, ia juga meninggalkan masa kecilnya[5].
Setibanya di Jakarta (1942), Pramoedya bekerja sebagai juru ketik, instruktur, dan editor di kantor berita Domei (1942-1945) dan sempat mendaftarkan diri di sebuah sekolah Taman Siswa (tepatnya Taman Dewasa). Pada akhirnya, sekolah Taman Dewasa ditutup oleh Jepang tahun 1943. Kemudian ia pun menempuh pendidikan Sekolah Tinggi Islam (1945) kelas Filosofi dan Sosiologi untuk beberapa kurun waktu, tapi tidak selesai[6].Munculnya roman Karya Buru merupakancerminan diri Pramoedya dalam usaha kerasnya mempelajari bahasa Melayu[7].
Pada masa kemerdekaan Indonesia, ia mengikuti kelompok militer di Jawa, seperti PETA dan BKR. Mendapat gelar letnan dua dalam Resismen 6 Devisi Siliwangi (1946). Belanda melakukan agresi militer pertama, pada Juli 1947. Pramoedya mendapatkan siksaan dari peleton marinir Belanda dan untuk pertama kalinya Pramoedya berkenalan dengan sisi gelap (penjara) pada tahun 1948 dan tahun 1949 di penjara Bukit Duri. Naskah Pemburuan dan Keluarga Geriljabeserta cerita pendek dan terjemahan berhasil ditulis dan diselundupkan secara diam-diam melalui Prof. Mr. G.J. Resink[8].Tanggal 3 Desember 1949, Pramoedya dibebaskan bersama kelompok tahanan yang terakhir. Peristiwa itu merupakan konsekuensi dari tercapainya kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMP) dan berakhirnya penjajahan kolonial Belanda.Novelnya, Pemburuan (1950) juga terbit dengan edisi Inggris, mendapatkan hadiah pertama sayembara yang diadakan oleh Balai Pustaka tahun 1949. Kemudian pada tahun 1950, setelah merasa namanya sebagai pengarang cukup terkenal berkat terjemahan dan riset sejarah dan sanggup membina kehidupan keluarga (baik materi maupun mental). Maka pada tanggal 13 Januari 1950 Pramoedya melangsungkan pernikahan dengan seorang gadis kenalannya selama di penjara. Ia sempat bekerja sebagai redaktur Balai Pustaka (periode tahun 1950-1951) kemudian dilanjutkannya bekerja sebagai pimpinan Literary & Features Agency Duta (tahun 1951-1954). Kebutuhan untuk menafkahi keluarga mendorong Pramoedya menjadi lebih produktif menulis, sehingga banyak karya yang berhasil diterbitkannya sekitar tahun 1950 sampai dengan 1953. Salah satu kumpulan cerpennya berjudul Cerita dari Bloramemperoleh Hadiah Sastra Nasional BMKN 1952. Integritasnya pada kesusastraan membuatnya memperoleh beasiswa dari Sticusa (sebuah lembaga kebudayaan Indonesia-Belanda)untuk belajar di Belanda[9]. Empat tahun berselang, mahligai kehidupannya kandas. Pramoedya menceraikan istrinya, dan tak berapa lama tetap di tahun 1954 kemudian ia menikah bersama Maimunah, anak H. A. Thamrin, saudara kandung nasionalis terkemuka Mohammad Husni Thamrin.
Perngalamannya ketika berkunjung ke Cina pada 1956 untuk memperingati wafatnya Lu Hsun (seorang pengarang revolusioner Cina) membuatnya memperoleh semangat baru. Ia mulai aktif berpolitik sekembalinya ke Indonesia melalui lembaga Petera (Pengerahan Tenaga Rakyat). Kemudian menjadi ketua Delegasi Indonesia dalam Konferensi Pengarang Asia-Afrika di Tasjkent, Uni Soviet (1958) dengan mencetuskan kembali UUD 1945 untuk mengatasi perpecahan Konstituante. Pandangan-pandangannya yang mulai sejalan dengan garis kebijakan Lekra, akhirnya pada 22-28 Januari 1959 Pramoedya terpilih sebagai anggota pimpinan pleno Kongres Nasional Lekra di Solo[10].
Semuanya memberi modal bagi Pramoedya untuk terjun di bidang alamiah akademik. beberapa tahun kemudian, dengan memberi kuliah “Sastra Indonesia” di Fakultas Sastra Universitas Res Publica sejak 1962. Kapasitasnya sebagai sastrawan dan intelektual pun semakin diakui[11]. Sehingga pada periode 1962-1965 menjadi redaktur Lentera. Setelah G30S meletus Pramoedya ikut ditahan hingga akhir 1979. Sejak itu Pramoedya bebas, namun semu belaka. Sebagai warga negara Indonesia, ia lama tidak memperoleh kemerdekaan berbicara, dan buku-bukunya masih dilarang. Bahkan untuk beberapa waktu diwajibkan untuk melapor sebelum akhirnya ia menolak melakukannya. Meskipun begitu, ambisinya dalam melahirkan karya sastra tidak pernah luntur. Untuk integritasnya terhadap sastra, Pramoedya akhirnya memperoleh penghargaan, antara lain Freedom for Award (1988), The Fund for Free Expression Award (1990), dan Magsaysay (1995).
Studi tentang Pramoedya Ananta Toer, antara lain: Bahrun Rangkuri, Pramoedya Ananta Toer dan Karya Seninya (1963); H.B Jassin, Kesusastraan Indonesia dalam Kritik Esai II (1967; khususnya bab “Pramoedya Ananta Toer Pengarang Keluarga Gerilya”); A. Teuw, Citra Manusia Indonesiadalam Karya Pramoedya Ananta Toer (1997); Eka Kurniawan, Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis (1999); Rudolf Mranck, Pramoedya Ananta Toer dan Kenangan Buru (2000); dan Rendra, Penyair dan Kritik Sosial (2001; khususnya bab “Hadiah Magsaysay dan Pramoedya”).

Biodata Penulis:
Dodit Setiawan Santoso, Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, UAD Yogyakarta.


[1]Kurniawan, Eka. 2002. Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis. Yogyakarta: Jendela.,hlm 15
[2]Lihat di Pramoedya. 2002. Cerita dari Digul. Jakarta: KPG., hlm VII
[3]Lihat di Pramoedya. 2002. Cerita dari Digul. Jakarta: KPG., hlm VII
[4]Kurniawan, Eka. 2002. Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis. Yogyakarta: Jendela., hlm 18
[5]Kurniawan, Eka. 2002. Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis. Yogyakarta: Jendela., hlm 18-19
[6]Kurniawan, Eka. 2002. Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis. Yogyakarta: Jendela., hlm 20-22
[7]Lihat Kurniawan, E. 2002. Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis. Yogyakarta: Jendela., hlm 20-21
[8]Lihat Kurniawan. 2002. Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis. Yogyakarta: Jendela., hlm 32-33
[9]Lihat Kurniawan. 2002. Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis. Yogyakarta: Jendela., hlm 24
[10]Lihat Kurniawan. 2002. Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis. Yogyakarta: Jendela., hlm 27
[11]Lihat Kurniawan. 2002. Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis. Yogyakarta: Jendela., hlm 27

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "ESAI BIOGRAFI : PRAMOEDYA ANANTA TOER"