Berwawasan Global Untuk Berkreativitas, Berwawasan Hukum Untuk Pelindung Kreativitas dan Landasan Berperilaku


Ulasan Tentang HAKI/HKI (Hak Kekayaan Intelektual)
 
Berwawasan Global Untuk Berkreativitas, Berwawasan Hukum Untuk Pelindung Kreativitas dan Landasan Berperilaku

Oleh : Dodit Setiawan Santoso


Hak kekakayaan Intelektual (HKI) adalah hak kebendaan, hak atas sesuatu benda yang bersumber dari hasil kerja otak manusia (penalaran) yang berupa benda tak terwujud (immaterial), berguna untuk dirinya (penemu) maupun untuk orang lain. Pada intinya hak kekayaan intelektual (HKI) adalah hak untuk menikmati secara ekonomis hasil dari suatu kreativitas intelektual. Dasar hukum HKI diatur dalam UU Nomor 19 Tahun 2002 dan UU Nomor 5 Tahun 1984. Keberadaan HKI dalam hubungannya dengan antarmanusia dan antarnegara merupakan suatu hal yang tak dapat ditolak lagi, sebagai contoh negara kita (Indonesia) adalah salah satu anggota masyarakat Internasional yang tidak akan terlepas dari perdagangan Internasional WTO. WTO (World Trade Organization) merupakan sebuah wadah bagi pelaku dagang Internasional yang diatur dan dilindungi oleh standar aspek yakni Trade Related Aspects of Intellectual Property Right (TRIPs). Di dalam TRIPs, diatur mengenai ruang lingkup dan objek HKI yakni : (1) Hak Cipta; (2) Hak Milik Perindustrian (dibagi atas: hak paten, merek, desain industri, desain tata letak sirkit terpadu, dan rahasia dagang).
Dilihat dari objek perlindungan, hak cipta memberikan perlindungan atas ciptaan-ciptaan di bidang seni, sastra dan ilmu pengetahuan; hak peten pada invensi bidang teknologi; hak merek pada logo/simbol dagang; hak desain industri pada kreasi berupa bentuk, konfigurasi dan komposisi; hak DTLST pada orisinilitas, yakni melarang orang lain yang tanpa persetujuan; sedangkan hak rahasia dagang pada informasi yang bernilai ekonomi dan dijaga kerahasiaannya.
Hak Cipta adalah hak ekslusif bagi pencipta atau penerima, hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin pada orang lain atas ciptaan yang akan digunakan dengan tidak mengurangi batasan perundang-undangan, hal ini termuat dalam pasal 2 ayat 1 UU Nomor 19 Tahun 2002. Perlu dicermati bahwa yang dilindungi dalam hak cipta adalah haknya, bukan benda yang merupakan perwujudan dari hak tersebut.
Sebagai salah satu agama yang besar penganutnya, Islam memandang HKI atau hak cipta sebagai suatu yang berharga bagi pemilik (baik itu bernilai ekonomis maupun tidak) yang harus diakui dan dihargai keberadaannya, serta tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk mengambil dan memakai hak tersebut tanpa izin terlebih dahulu dari pemiliknya, hal ini termuat dalam pasal 49 UU Nomor 19 Tahun 2002. Sedangkan terkait hukuman pidana atas pelanggaran termuat dalam pasal 72 UU Nomor 19 Tahun 2002. Perlindungan hukum yang diberikan terhadap beberapa ruang lingkup dan objek HKI, dimaksudkan untuk merangsang aktivitas kreatif dari pencipta/penemu untuk memunculkan sesuatu yang baru dengan daya ciptanya sehingga diperoleh manfaat bersama antara pencipta dan pengguna.
Di era globalisasi, setiap orang dituntut menggunakan daya intelektual dan daya ciptanya untuk menciptakan sesuatu hal baru yang bermanfaat bagi dirinya maupun orang lain, serta menciptakan persaingan global dengan produk temuannya. Oleh karenanya, sudah sepantasnya para pelaku HKI (penemu, pendesain, pencipta, dll) diberikan hak ekslusif atas temuannya, desain atas karya ciptaannya, agar dapat menikmati secara ekonomis haknya tersebut. Beberapa produksi masyarakat Yogyakarta yang umum dijual di pasar-pasar tradisional, pernah ditiru oleh konsumen asing. Misalnya, kerajinan anyaman pandan dan enceng gondok yang ditiru oleh para buyers asal Cina dan Vietnam (dalam Anastasia, 2007: 14). Adapun beberapa hak cipta atas ciptaan yang penciptanya tidak diketahui, (misalnya: karya peninggalan prasejarah, sejarah, benda budaya nasional, cerita rakyat, dongeng, legenda, tarian, dll). Hak cipta ini dipegang sepenuhnya oleh Negara.
Sebagai kota pelajar, kota budaya, kota seni, kota buku yang merupakan julukan dari kota Yogyakarta, misalnya, banyak peninggalan-peninggalan (misal, wayang kulit, keris, jathilan, dan sebagainya) sudah sepantasnya diberikan hak ekslusif agar hak cipta yang ada tersebut menjadi milik seutuhnya daerah maupun negara tersebut. Bersumber dari pengalaman yang telah ada sebelumnya, beberapa kesenian Indonesia (seperti: Reog Ponorogo, Angklung, Batik, dan lagu ‘Rasa Sayange’), pernah diklaim oleh negara tetangga (yakni, Malaysia). Hal ini, sudah sepantasnya menjadi tugas kita bersama untuk menjaga serta melestarikan kekayaan yang ada di negeri tercinta ini.
Era globalisasi juga berpengaruh terhadap perubahan sosial-budaya masyarakat (tentang menghargai hasil karya orang lain). Masyarakat Yogyakarta misalnya, secara tidak sadar atau sengaja memproduksi dan membeli atau memakai produk bajakan, seperti CD/VCD/DVD bajakan, software komputer bajakan, buku bajakan, serta memakai merek dagang tertentu untuk produk bajakannya. Hal seperti ini, banyak kita temukan di berbagai tempat di Yogyakarta, misal di pasar-pasar tradisional, pasar malam/sekaten, bahkan di pusat kota Yogyakarta yakni Malioboro pun ada. Tentunya hal ini sangat merugikan pihak pemegang HKI. Agar HKI dapat terlindungi, maka perlu adanya upaya tegas penegakan hukum dari aparat penegak hukum untuk memproses setiap pelanggaran yang terjadi, sehingga masyarakat pelanggar merasa sadar dan takut.
Upaya lain untuk mengatasi fenomena pelanggaran HKI, yakni melalui pendidikan. Dengan adanya pendidikan diharapkan manusia (masyarakat) dapat berpikir terbuka, luas, kritis, serta kreatif. Selain berhubungan dengan intelektualitas, pendidikan juga berhubungan dengan pembentukan karakter seseorang. Pembentukan karakter lewat pendidikan diharapkan masyarakat sadar untuk tidak melanggar dan mau menegakkan HKI. Maka dari itu, dengan terciptanya masyarakat yang berwawasan global dan berwawasan hukum terkait HKI, diharapkan berbagai pelanggaran HKI akan sedikit berkurang. Sebaliknya, tingkat kreativitas pun meningkat karena adanya wawasan yang luas pada setiap lapisan masyarakat, serta adanya perlindungan hukum dan kesadaran hukum yang mengikat HKI seseorang.


Daftar Pustaka
Gautama, Sudargo; Winata, Rizawanto. 2000. “Hak Atas Kekayaan Intelektual (HKI)”. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Resti Muliana, Anastasia. 2007. “Perlindungan Hukum HKI bagi Usaha Kecil Di Bidang Industri Kerajinan Di Kabupaten Bantul”. Program Pascasarjana. Universitas Diponegoro. Semarang.
Sujarwa. 2011. “Manusia dan Fenomena Sosial Budaya”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta.

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Berwawasan Global Untuk Berkreativitas, Berwawasan Hukum Untuk Pelindung Kreativitas dan Landasan Berperilaku"