Sebuah puisi: Seruan Para Penguasa

Sebuah Puisi
Seruan Para Penguasa
oleh: Dodit Setiawan Santoso


Dengan nama Allah,
Maha Pemurah
Maha Penyanyang
Allah telah menjanjikan
Kepada orang-orang yang beriman
Dan beramal saleh di antara Anda, akan mengangkat menjadi Khalifah
Untuk mengelola bumi raya,
Seperti halnya telah diangkat orang-orang sebelum mereka
Dan Agama yang Allah
Telah relakan untuk mereka
Akan dikukuh kuatkannya. (Q.S. An Nur: 55)

Ya Rabb….
Maafkan akal kami yang lupa ingat
Semua buku, kini telah lusuh di hadapan kami
Kami jarang membacanya, bahkan membukanya
Bukannya kami tak punya tangan?
Tapi tangan ini sekarang telah terlalu sibuk akan dunianya sendiri
Mungkin dia lupa dengan Yang menciptakannya
Mungkin dia lupa di manakah dia akan kembali
: Wahai tangan, apakah engkau lupa di mana engkau akan kembali? Apakah engkau lupa dengan penciptamu sendiri?
: Wahai anak Adam, perlu kau ketahui bahwa aku ini tangan. Aku tak punya otak. Isiku hanya darah dan tulang. Mengapa kau lemparkan pertanyaan itu kepadaku? Kau renungkan saja sendiri. Kau yang menggarakkanku.
Aku tersipu dengan pertanyaanku.
Kemudian otak memutar dunianya: aku teringat, aku merenung.
Maafkan kami, Tuhan! Karena telah melempar jamrah pada sesama kami
Maafkan kami, Tuhan! Karena telah main lempar petasan seperti anak kecil di waktu Ramadan
Maafkan kami, Tuhan! Karena telah menjadi tikus liar di negeri sendiri.
Kami berjanji akan membukanya kembali
Maafkan kami, para penguasa

Demi tinta dan pena
Demi naskah yang mereka tulis,
Sungguh, dengan karunia Tuhan
Anda bukan orang gila,
Sungguh, untuk Anda
Tersedia pahala tiada terkira,
Sungguh Anda memiliki
Budi pekerti yang tinggi. (Q.S. Al Qalam: 1-4)
                                                                                                            Desember 2015
Ulasan singkat tentang puisi di atas:
Dewasa ini, banyak kejadian yang menimpa masyarakat kita, terutama generasi muda. Generasi muda adalah ujung tombak suatu negara. Ujung tombak akan tumpul jika tidak diasah dan dirawat; ujung tombak akan saling melukai dan merusak jika diadu satu sama lain; dan ujung tombak akan melenceng dari sasaran jika bambu yang digunakan bengkok dan tak kuat dengan terpaan angin saat dilemparkan. Artinya bahwa, generasi muda agar tidak “tumpul” harus diasah dan dirawat yakni dengan pendidikan, pendidikan itu dapat dilakukan di mana saja, kapan saja serta oleh siapa saja, dari dalam kandungan sampai dewasa atau dalam artian “pendidikan seumur hidup”; lalu generasi muda “saling melukai dan merusak” ini digambarkan, seperti peristiwa tawuran antarpelajar, tawuran antarmahasiswa, tawuran antarwarga, pemerkosaan, penjualan manusia, merusak fasilitas umum, sampai dengan aksi pembegalan yang marak terjadi sekarang ini; lalu generasi muda yang “melenceng dari sasaran” ini digambarkan, seperti memberi atau menerima suap, korupsi, jual beli perkara, seks bebas, aborsi, sampai dengan pelibatan dalam aksi terorisme. Kedua penggambaran yang terakhir (yakni “saling melukai dan merusak” serta “melenceng dari sasaran”) adalah bentuk konkret kemerosotan akhlak atau kerusakan moral generasi muda kita saat ini.
Dalam puisi di atas, digambarkan perihal beberapa peristiwa kerusakan moral antara lain: /lempar jamrah/ yang berarti tawuran; /main petasan/ yang berarti terorisme; /tikus liar/ yang berarti korupsi.
            Al-Qur’an dan Hadist adalah pedoman hidup masyarakat Islam. Manusia akan kehilangan arah ketika tidak berpegang erat dengan keduanya (Al-Qur’an dan Hadist). Dalam puisi di atas, bahwa manusia yang krisis moral digambarkan dengan /buku yang lusuh/. Dengan berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Hadist, maka jalan hidup akan terarah, mendapatkan banyak pahala dan pelajaran moral, dan masih banyak lagi. Pada hakikatnya, akhir dari semua hidup ini adalah ketemu jalan pulang. Entah disadari atau tidak. Terimakasih, semoga bermanfaat.

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Sebuah puisi: Seruan Para Penguasa"