PERBANDINGAN PENDAPAT ANTARA ABDUL
CHAER & SOENJONO DARDJOWIDJOJO TERKAIT PEMEROLEHAN BAHASA DALAM
PSIKOLINGUISTIK
Oleh : Dodit Setiawan Santoso

A. PENDAHULUAN
1. Latar
Belakang Masalah
Bahasa, secara singkat, merupakan alat komunikasi
sosial bagi manusia. Dengan bahasa seseorang dapat berinteraksi dengan orang
lain dalam masyarakat. Maka, setiap masyarakat dipastikan memiliki dan
menggunakan alat komunikasi sosial tersebut. Tidak ada masyarakat tanpa bahasa,
dan tidak ada pula bahasa tanpa masyarakat. Bahasa dalam hal ini, merupakan
komponan yang sentral bagi seseorang berinteraksi di dalam masyarakat.
Sebelum seseorang dapat berbahasa, proses pertama yang
harus dilewati adalah proses pemerolehan bahasa. Pemerolehan bahasa atau
akusisi bahasa (Chaer. 2009:167) adalah proses yang berlangsung di dalam otak
seseorang kanak-kanak ketika memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya. Proses pemerolehan bahasa atau
akuisis bahasa ini dibagi atas dua proses, yakni proses kompetensi dan proses
performansi. Yang mana kedua
proses ini merupakan dua proses yang saling berlainan. Kompetensi berkaitan
dengan penguasaan tata bahasa (fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik),
sedangkan proses performansi berkaitan dengan proses pemahaman dan proses
menerbitkan atau melahirkan kalimat-kalimat baru. Berdasarkan proses
pemerolehan bahasa, maka adapun tahapan pemerolehan bahasa oleh kanak-kanak
yakni pemerolehan fonologi, pemerolehan morfologi, pemerolehan sintaksis, dan
pemerolehan semantik.
2. Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas maka adapun rumusan masalah yakni:
a)
Bagaimanakah
proses pemerolehan bahasa menurut Abdul Chaer dan Soenjono Dardjowidjojo?
b)
Adakah
persamaan dan perbedaan pendapat terkait pemerolehan bahasa oleh Abdul Chaer
dan Soenjono Dardjowidjojo?
c)
Adakah
kelebihan dan kelemahan pendapat pemerolehan bahasa oleh Abdul Chaer dan
Soenjono Dardjowidjojo?
3. Tujuan
Penulisan
Berdasarkan
rumusan masalah diatas, maka adapun tujuan penulisan ini yakni:
a)
Untuk
mengetahui berbagai macam proses pemerolehan bahasa yang dikemukakan oleh Abdul
Chaer dan Soenjono Dardjowidjojo.
b)
Untuk
mengetahui persamaan dan perbedaan pendapat tentang pemerolehan bahasa antara
pendapat Abdul Chaer dan Soenjono Dardjowidjojo.
c)
Untuk
mengetahui kelebihan dan kelemahan pendapat antara Abdul Chaer dan Soenjono
Dardjowidjojo.
B. PEMBAHASAN
Pemerolehan
bahasa (dalam Chaer, 2009: 167) adalah proses yang berlangsung di dalam otak
seseorang kanak-kanak ketika dia memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa
ibunya. Menurut Kiparsky, yang dimaksud dengan pemerolehan bahasa atau akuisisi
bahasa adalah suatu proses yang dipergunakan oleh kanak-kanak untuk
menyesuaikan serangkaian hipotesis yang semakin bertambah rumit ataupun
teori-teori yang masih terpendam atau tersembunyi yang mungkin sekali terjadi dengan
ucapan orang tuanya sampai dia memilih berdasarkan suatu ukuran atau takaran
penilaian tata bahasa yang paling baik dan paling sederhana dari bahasa
tersebut.
Ada dua proses
yang terjadi ketika seorang kanak-kanak sedang memperoleh bahasa pertamanya (bahasa
ibu) yaitu proses kompetensi dan proses performansi. Kedua proses ini merupakan
proses yang saling berlainan. Proses kompetensi berkaitan dengan proses
penguasaan tata bahasa (fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik) yang
tidak disadari oleh seseorang tersebut ketika memperoleh bahasa pertamanya.
Sedangkan proses performansi berkaitan dengan proses pemahaman seseorang akan
suatu hal serta berkaitan dengan proses penciptaan atau penerbitan
kalimat-kalimat baru. Adapun
proses kompetensi ini merupakan proses yang mutlak untuk terjadinya proses
performansi.
1. Kajian
Pemerolehan Bahasa
a) Menurut
Abdul Chaer
Adapun
beberapa macam kajian pemerolehan bahasa yang dikemukakan oleh Abdul Chaer,
yakni:
1)
Pemerolehan
Sintaksis
Pada pemerolehan bahasa bidang sintaksis ini,
pengkajian pemerolehan bahasa yakni pada tahap dua kata bukan pada satu kata
(holofrasis), sebab para peneliti menganggap pengkajian pada tahap dua kata
lebih mudah ditafsirkan atau dipahami pemaknaannya. Sedangkan alasan peneliti
bahasa bidang sintaksis tidak memulai kajian dari tahap holofrasis karena
ucapan-ucapan holofrasis sukar ditafsirkan atau dipahami, sebab harus merujuk
pada situasi dan konteks di mana kata holofrasis itu diucapkan sang anak. Jadi,
pada kajian pemerolehan sintaksis ini, peneliti lebih cenderung mengkaji bahasa
pada tahap dua kata.
Menurut teori tata bahasa Pivot, ucapan dua kata
kanak-kanak terdiri dari dua jenis kata menurut posisi dan frekuensi dalam
kalimat, kemudian dua jenis kata ini dikenal dengan nama kelas Pivot dan kelas terbuka. Pada umumnya kata-kata yang termasuk kelas pivot adalah
kata-kata fungsi yang terdapat pada awal atau akhir kalimat, dengan jumlah
terbatas tetapi sering muncul pada kalimat, selalu muncul bersama dengan kata
yang lain, jarang muncul anggota baru atau kata baru, dan selalu merujuk pada
kata-kata lain dari kelas terbuka. Contoh kata pivot, yakni: kata akan, ingin, mau, dll. Sedangkan kata
kata yang termasuk kelas terbuka adalah kata-kata berkategori nomina dan verba
yang dapat muncul pada awal dan akhir kalimat, dengan jumlah yang terbatas,
sering muncul anggota baru atau kata baru, bisa muncul sendirian, dan memiliki
rujukan sendiri. Contoh kata kelas terbuka, yakni: kata susu, minum, roti, dll. Menurut Greenfield dan Smith (dalam Chaer,
2009: 185) menyatakan bahwa pemerolehan sintaksis kanak-kanak dimulai dengan
kalimat-kalimat yang terlihat pada kata-kata pivot, namun cara ini menurut
psikolinguistik modern sangat tidak memadai.
Menurut teori tata bahasa nurani, pemerolehan
sintaksis ditentukan juga oleh hubungan-hubungan tata bahasa universal. Pengetahuan
kanak-kanak mengenai hubungan-hubungan tata bahasa universal ini bersifat
“nurani”. Mc.Neil (dalam Chaer, 2009: 186) menyatakan bahwa ucapan-ucapan dua
kata atau lebih dari kanak-kanak dapat dianalisis karena ucapan dua kata itu
sesungguhnya mempunyai struktur juga. Sejalan dengan teori hubungan bahasa
nurani ini, Menyuk (Simanjuntak, 1987 via Chaer, 2009: 187) menyarankan bahwa
pengethuan yang telah diperoleh kanak sejak lahir mengenai rumus-rumus struktur
dasar tata bahasa dan rumus-rumus transformasi dan fonologi menentukan bentuk
ucapan kanak-kanak. Misalnya pada urutan S (subjek) + V (verba) dengan posisi O
(objek) sebagai opsional. Maka kalimat-kalimat urutan OSV dan SOV pun akan
muncul di samping kalimat urutan SVO.
Sehubungan dengan teori hubungan tata bahasa nurani,
Bloom (dalam Chaer, 2009: 188) mengatakan bahwa hubungan-hubungan tata bahasa
tanpa merujuk pada konteks belumlah mencukupi untuk menganalisis ucapan atau
bahasa anak, maka untuk dapat menganalisis ucapan kanak-kanak konteks (informasi
situasi) harus diperhatikan, maka muncullah teori hubungan tata bahasa dan
informasi situasi (konteks). Misalnya ucapan kanak-kanak “ibu kue” dalam
situasi yang berbeda-beda dapat diartikan: (1) anak itu meminta kue kepada
ibunya, (2) anak itu menunjukkan kue kepada ibunya, (3) anak itu menawarkan kue
kepada ibunya, (4) anak itu memberitahukan ibunya bahwa kuenya jatuh atau
diambil orang lain, dan sebagainya tergantung konteks yang melatarbelakanginya.
Menurut Bloom (dalam Chaer, 2009: 189) teori komulatif
kompleks bahwa urutan pemerolehan bahasa oleh kanak-kanak ditentukan oleh
komulatif kompleks semantik morfem dan komulatif kompleks tata bahasa yang
diperolehnya. Jadi, sama sekali tidak ditentukan oleh frekuensi munculnya
morfem ucapan orang dewasa. Hal ini terbukti pada penelitian Bloom pada
anak-anak dalam memperoleh bahasa Inggris, dari penelitian ini morfem yang
pertama kali dikuasai oleh anak tersebut adalah bentuk progresive-ing dari kata kerja.
2)
Pemerolehan
Semantik
Pemerolehan semantik adalah pemerolehan tentang makna.
Menurut Larson (dalam Chaer, 2009: 195), makna sebuah kata merupakan gabungan
dari fitur-fitur semantik. Menurut Bolinger (dalam Chaer, 2009: 195) ada
beberapa masalah dalam teori semantik yakni masalah perbedaan antara sintaksis dan
semantik, serta masalah makna dan pengetahuan kognitif. Lalu untuk memecahkan
masalah tersebut, Simanjutak (dalam Chaer, 2009: 195) mengatakan bahwa
komunikasi, pragmatik (konteks), makna, dan sintaksis terjadi bersama-sama dan
kesemua unsur tersebut tak dapat dipisahkan satu sama lain, karena memiliki
kesatuan yang utuh untuk menyampaikan pengetahuan, perasaan, dan emosi
seseorang kepada orang lain.
Menurut beberapa ahli psikolinguistik perkembangan,
kanak-kanak memperoleh makna suatu kata dengan cara menguasai fitur-fitur
semantik kata itu satu demi satu sampai semua fitur semantik itu dikuasai.
Adapun asumsi-asumsi yang menjadi dasar hipotesis fitur sematik adalah: (1)
fitur-fitur makna yang digunakan kanak-kanak dianggap sama dengan beberapa
fitur makna yang digunakan oleh orang dewasa, (2) anak akan menggunakan dua
atau tiga fitur makna untuk sebuah kata sebagai masukan leksikon karena
pengalaman kanak-kanak tentang dunia dan bahasanya yang terbatas, (3)
fitur-fitur semantik pada umumnya didasarkan pada informasi persepsi atau
pengamatan yang telah diketahui sebelumnya oleh kanak-kanak. Menurut Clark (dalam
Chaer, 2009: 196) ada empat tahapan pemerolehan semantik, yakni (1) Tahap
penyempitan makna kata (pada kanak berumur 1 - 1,6 tahun) dengan menganggap
satu benda satu makna menjadi nama benda tersebut, misal meong; (2) Tahap generalisasi berlebihan (pada kanak berumur 1,6 –
2,6 tahun) dengan menganggap bahwa segala sesuatu itu semuanya sama; (3) Tahap
medan semantik (pada kanak berumur 2,6 – 5,0 tahun) dengan cara mengelompokkan
kata-kata yang berkaitan ke dalam satuan medan semantik; (4) Tahap generalisasi
(pada kanak berumur 5,0 – 7,0 tahun), pada tahap ini anak sudah mulai mampu
mengenal benda-benda yang sama dari sudut persepsi.
Menurut Mc. Neil (dalam Chaer, 2009: 197) mengatakan
bahwa pada waktu lahir anak telah dilengkapi dengan hubungan-hubungan gramatikal dalam-yang nurani, maka muncullah
teori hipotesis hubungan gramatikal. Oleh karena itu, kanak-kanak pada awal
proses pemerolehan bahasanya telah membentuk satu “kamus makna kalimat”.
Penyesuaian kamus makna kata ini merupakan perkembangan kosakata kanak-kanak
yang dilakukan secara horizontal (pemasukan semua fitur semantik secara
berangsur-angsur) dan secara vertikal (pemasukan semua fitur semantik secara
terpisah).
Menurut Anglin (dalam Chaer, 2009: 198) dalam teori
hipotesis generalisasi bahwa perkembangan semantik kanak-kanak mengikuti satu
proses generalisasi yakni kemampuan anak melihat hubungan-hubungan semantik
antara nama-nama benda mulai dari yang konkret sampai yang abstrak. Misal :
mawar dan melati merupakan penggolongan jenis bunga.
3)
Pemerolehan
Fonologi
Pemerolehan bahasa bidang fonologi oleh kanak-kanak
merupakan bagian dari pemerolehan bahasa i bu
seutuhnya. Adapun beberapa teori mengenai pemerolehan fonologi, yakni:
a.
Teori
struktural universal
Teori ini dikemukakan oleh Jacobson (1968), pada
intinya teori ini mencoba menjelaskan pemerolehan fonologi berdasarkan struktur
universal linguistik yakni hukum-hukum linguistik yang mengatur setiap
perubahan bunyi. Dari pengamatannya, Jakobson menyimpulkan adanya dua tahap
dalam pemerolehan fonologi oleh bayi yakni (1) tahap membabel prabahasa, dan
(2) tahap pemerolehan bahasa murni. Data yang dikumpulkan itu menunjukkan bahwa
kanak-kanak lebih dahulu dapat membunyikan [b], [p], [d], dan [t] daripada
bunyi [f] dan [s]. Menurut Jakobson pemerolehan bunyi konsonan dimulai dari
bunyi bibir (bilabial), sedangkan pemerolehan bunyi vokal dimulai dari satu
vokal lebar, biasanya bunyi [a].
b.
Teori
generatif struktural universal
Teori ini merupakan pengembangan dari teori sebelumnya
yakni teori struktural universal, yang mana kemudian diperluas oleh Moskowitz
(1970, 1971). Moskowitz berpendapat bahwa sejak awal proses pemerolehan bahasa
seorang bayi telah menyadari akan perbedaan bunyi antara suara manusia dengan
suara bukan manusia, hal ini termasuk “kemampuan naruni” yang dimiliki bayi
sejak lahir. Kemudian pada tahap membabel, bayi tersebut akan menyesuaikan
ucapan-ucapannya sesuai dengan persepsi bunyi yang didengarnya. Moskowitz juga
memperkenalkan idiom-idiom fonologi, terdiri dari idiom progresif dan idiom
regresif.
c.
Teori
proses fonologi alamiah
Menurut Stample, proses fonologi kanak-kanak bersifat
nurani yang harus mengalami penindasan (supresi), pembatasan, dan pengaturan
sesuai dengan penuranian.
d.
Teori
prosidi-akustik
e.
Teori
kontras dan proses
b) Menurut
Soenjono Dardjowidjojo
Pemerolehan bahasa menurut Soenjono Dardjowidjojo ini
sebagian besar penjenisan dan pengertian atau penjabarannya sama dengan yang
dikemukakan oleh Abdul Chaer dalam bukunya. Menurut Soenjono Dardjowidjojo
(dalam Soedjono, 2012) ada empat bidang pemerolehan bahasa yaitu, fonologi, sintaksis,
leksikon, dan pragmatik, sedangkan menurut Abdul Chaer (dalam Chaer, 2009) ada tiga
bidang pemerolehan bahasa yaitu, sintaksis, semantik, dan fonologi.
Penjabaran tentang pemerolehan bahasa bidang fonologi
dan bidang sintaksis yang ada pada kedua pendapat ahli linguistik tersebut sama
pada bidang penjabarannya. Sedangkan perbedaannya terletak pada bidang leksikon
dan pragmatik (menurut Soenjono Dardjowidjojo) serta bidang semantik (menurut
Abdul Chaer). Berikut ini penjabaran terkait bidang yang berbeda yang
disampaikan Soenjono Dardjowidjojo yakni bidang leksikon dan bidang pragmatik.
1)
Pemerolehan
Bahasa Bidang Leksikon
Pemerolehan bidang ini berkaitan dengan pemerolehan
kosakata anak, atau lebih tepatnya ini berkaitan dengan bidang morfologi dalam
linguistik. Sebelum anak dapat mengucapkan kata, anak akan memakai gerak dan
tangis untuk berkomunikasi. Lalu pada tahap perkembangannya, anak mulai
menguasai macam kata yakni menurut penelitian Soenjono Dardjowidjojo (dalam Soenjono,
2012: 259) bahwa secara konsisten jenis kata yang dikuasai terlebih dahulu oleh
anak (Echa) adalah kata jenis nomina dan jumlahnya lebih banyak, kemudian
lanjut ke jenis kata verba. Salah satu cara yang digunakan anak untuk
menentukan makna adalah dengan cara penggelembungan kata. Adapun cara anak
menguasai makna kata yang diperolehnya, yakni dengan beberapa strategi seperti;
(1) strategi referensi, (2) strategi cakupan objek, (3) strategi perluasan, (4)
cakupan kategorial, (5) strategi “nama baru – kategori tak bernama”, dan (6)
strategi konvensional.
2)
Pemerolehan
Bahasa Bidang Pragmatik
Pragmatik adalah studi tentang penggunaan bahasa dalam
hubungannya dengan orang lain dalam masyarakat yang sama. Pragmatik bukan
merupakan komponen keempat (di samping fonologi, sintaksis, dan leksikon) pada
bahasa tetapi memberikan perspektif yang berbeda mengenai bahasa. Dalam
pemerolehan bahasanya, anak juga harus menguasai toto kromo bahasa. Menurut Soenjono Dardjowidjojo (2012: 265-266),
pemerolehan bahasa kanak oleh anak asing akan bahasa Inggris lebih cepat
dibanding dengan anak Indonesia yang mempelajari bahasa Indonesia.
2. Persamaan
dan Perbedaan Pandangan Terkait Kajian Pemerolehan Bahasa.
a) Persamaan
Pandangan Kedua Ahli Linguistik pada Bidang Pemerolehan Bahasa
1)
Sama-sama
mengkaji pemerolehan bahasa bidang Fonologi dan bidang Sintaksis.
b) Perbedaan
Pandangan Kedua Ahli Linguistik pada Bidang Pemerolehan Bahasa
1)
Berbeda
pendapat terkait penjenisan bidang pemerolehan bahasa, bidang leksikon dan
pragmatik (oleh Soenjono Dardjowidjojo) sedangkan bidang semantik (oleh Abdul
Chaer)
2)
Perbedaan
kajian penelitian bahasa, pada buku Abdul Chaer ini lebih fokus pada
pemerolehan bahasa Inggris oleh anak asing, sedangkan pada Soenjono
Dardjowidjojo ini fokus pada pemerolehan bahasa Inggris dan bahasa Indonesia
oleh kanak-kanak.
3. Kelebihan
dan Kelemahan
a) Kelebihan
1)
Kelebihan
dari pendapat Abdul Chaer, bahwa mungkin pendapatnya ini merupakan sebuah
rujukan oleh Soenjono Dardjowidjojo untuk menjabarkan pemerolehan bahasa. Hal
ini terbukti pada kajian bahasa dalam pemerolehan bahasa yakni bahasa Inggris
(oleh Abdul Chaer) serta bahasa Inggris dan bahasa Indonesia (oleh Soenjono
Dardjowidjojo) dan juga jenis bidang pemerolehan bahasa oleh Abdul Chaer dan
Soenjono Dardjowidjojo. Akan tetapi Soenjono Dardjowidjojo memberikan tambahan
jenis lain yang mungkin akan menyempurnakan kedua pandangan atau pendapat
keduanya (kedua ahli linguistik tersebut).
b) Kekurangan
1)
Kekurangan
dari pendapat Abdul Chaer dibanding pendapat Soenjono Dardjowidjojo, bahwa pada
penjenisan bidang pemerolehan bahasa kurang, akan tetapi Soenjono Dardjowidjojo
dalam bukunya menambahkan bidang penjenisan pemerolehan bahasa, sehingga
menjadi sempurna apabila keduanya digabungkan. (bidang fonologi,
morfologi/leksikon, sintaksis, semantik, dan pragmatik).
C. PENUTUP
1.
Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa akuisisi
atau pemerolehan bahasa merupakan sebuah proses bagi seorang kanak untuk dapat
memperoleh bahasa ibunya. Proses yang dapat dilakukan seorang kanak untuk memperoleh
bahasa ibunya yakni proses kompetensi (terkait pengetahuan penguasaan tata
bahasa) dan proses performasi (pemahaman dan penciptaan kalimat baru).
Dalam hubungannya dengan psikolinguistik, terdapat
beberapa kajian pemerolehan bahasa yang dirangkum dari pendapat dua ahli
linguistik yakni Abdul Chaer dan Soenjono Dardjowidjojo. Adapun kajian tersebut
yakni, kajian pemerolehan bahasa bidang fonologi, leksikon/morfologi,
sintaksis, semantik, dan pragmatik. Kedua pendapat ini saling menguatkan satu sama
lain dalam kajian pemerolehan bahasa oleh kanak-kanak dalam psikolinguistik.
2.
Saran
Dari beberapa uraian diatas adapun kesamaan, perbedaan, kelebihan, dan
kekurangan antara dua pandangan dari buku yang berbeda ini terkait kajian
pemerolehan bahasa atau akuisisi bahasa. Beberapa uraian diatas ini dapat
menjadi gambaran atau bukti bagi kita, bahwa tak ada teori yang sempurna sekali
apabila menjadikan manusia sebagai objek kajiannya. Sebab manusia adalah
makhluk yang dinamis yang sering berubah-ubah. Beberapa persamaan, perbedaan,
kelebihan dan kekurangan dari kedua pendapat ahli linguistik ini menjadi
gambaran bagi kita bahwa semua manusia boleh bebas berpendapat. Perbedaan
pendapat ini sebenarnya saling menguatkan satu sama lain dan saling
menyempurnakan satu sama lain. Walaupun begitu munculnya teori pandangan ini
oleh para ahli linguistik perlu kita beri apresiasi secara bersama. Terkait
keyakinan atas teori, kita dapat meyakini kedua padangan tersebut karena
semuanya memiliki keterkaitan dan saling menyempurnakan satu sama.
DAFTAR
PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2009. “Psikolinguistik : Kajian Teoretik”. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Dardjowidjojo, Soenjono. 2012. “Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa
Manusia”. Jak
1 Tanggapan untuk "PERBANDINGAN PENDAPAT ANTARA ABDUL CHAER & SOENJONO DARDJOWIDJOJO TERKAIT PEMEROLEHAN BAHASA DALAM PSIKOLINGUISTIK"
Sangat bermanfaat. Terima kasih
Post a Comment